Arti Iman Kepada Allah
Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan memperbuat dengan anggota badan (beramal). Dengan demikian iman
kepada Allah berarti meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT itu
ada, Allah Maha Esa. Keyakinan itu diucapkan dalam kalimat :
أشهد أن لاإله إلا الله
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah”
Sebagai
perwujudan dari keyakinan dan ucapan itu, harus diikuti dengan
perbuatan, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Rukun Iman yang pertama adalah iman kepada Allah SWT yang merupakan dasar dari seluruh ajaran Islam. Orang yang akan memeluk agama Islam
terlebih dahulu harus mengucapkan kalimat syahadat. Pada hakekatnya
kepercayaan kepada Allah SWT sudah dimiliki manusia sejak ia lahir.
Bahkan manusia telah menyatakan keimanannya kepada Allah SWT sejak ia
berada di alam arwah. Firman Allah SWT :
وإذ اخذ ربك من بني أدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على انفسهم الست بربكم قالوا بلى شهدنا
“Dan
ingatlah, ketika TuhanMu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul Engkau
Tuhan kami, kami bersaksi.” (QS. Al-A’raf : 172)
Jauh sebelum datangnya agama Islam,
orang-orang jahiliyah juga sudah mengenal Allah SWT. Mereka mengerti
bahwa yang menciptakan alam semesta dan yang harus disembah adalah dzat
yang Maha Pencipta, yakni Allah SWT. Sebagaimana diungkapkan di dalam
Al-Qur’an :
ولئن سألتهم من خلق السموت والأرض ليقولن خلقهن العزيز العليم
“Dan sungguh jika
kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan
bumi?”, niscaya mereka akan menjawab : “Semuanya diciptakan oleh Yang
Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf : 9)
Manusia
memiliki kecenderungan untuk berlindung kepada sesuatu Yang Maha Kuasa.
Yang Maha Kuasa itu adalah dzat yang mengatur alam semesta ini. Dzat
yang mengatur alam semesta ini sudah pasti berada di atas segalanya.
Akal sehat tidak akan menerima jika alam semesta yang sangat luas dan
teramat rumit ini diatur oleh dzat yang kemampuannya terbatas. Sekalipun
manusia sekarang ini sudah dapat menciptakan teknologi
yang sangat canggih, namun manusia tidak dapat mengatur alam raya ini.
Dengan kecanggihan teknologinya, manusia tidak akan dapat menghentikan
barang sedetik pun bumi untuk berputar.
Dzat
Allah adalah sesuatu yang ghaib. Akal manusia tidak mungkin dapat
memikirkan dzat Allah. Oleh sebab itu mengenai adanya Allah SWT, kita
harus yakin dan puas dengan apa yang telah dijelaskan Allah SWT melalui firman-firman-Nya dan bukti-bukti berupa adanya alam semesta ini.
Ketika
Rasulullah SAW endapat kabar tentang adanya sekelompok orang yang
berusaha memikirkan dan mencari hakekat dari dzat Allah, maka beliau
melarang mereka untuk melakukan hal itu. Rasulullah SAW bersabda :
عن
ابن عباس أن قوما تفكروا فى الله عزوجل وقال النبي صلى الله عليه وسلم
تفكروا فى خلق الله ولا تفكروا فى ذات الله (رواه ابو الشيخ)
“Dari
Ibnu Abbas RA, diceritakan bahwa ada suatu kaum yang memikirkan tentang
(hakekat) dzat Allah Azza Wajalla, maka Nabi SAW bersabda :
“Pikirkanlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu memikirkan
(hakekat) dzat Allah.” (HR. Abu Asy-Syaikh)
Sebagai
perwujudan dari keyakinan akan adanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa adalah
pengabdian kita kepada Nya. Pengabdian kita kepada Allah adalah
pengabdian dalam bentuk peribadatan, kepatuhan, dan ketaatan secara
mutlak. Tidak menghambakan diri kepada selain Allah, dan tidak pula mempersekutukan Nya dengan sesuatu yang lain. Itulah keimanan yang sesungguhnya. Jika
sudah demikian Insya Allah hidup kita akan tentram. Apabila hati dan
jiwa sudah tentram, maka seseorang akan berani dan tabah dalam
menghadapi liku-liku kehidupan ini. Segala nikmat dan kesenangan selalu
disyukurinya. Sebaliknya setiap musibah dan kesusahan selalu diterimanya
dengan sabar.
Dasar Beriman Kepada Allah
a. Kecenderungan dan pengakuan hati
b. Wahyu Allah atau Al-Qur’an
c. Petunjuk Rasulullah atau Hadits
Setiap manusia secara fitrah, ada kecenderungan hatinya untuk percaya
kepada kekuatan ghaib yang bersifat Maha Kuasa. Tetapi dengan rasa
kecenderungan hati secara fitrah itu tidak cukup. Pengakuan hati
merupakan dasar iman. Namun dengan pengakuan hati tidak akan ada
artinya, tanpa ucapan lisan dan pengalaman anggota tubuh. Sebab antara
pengakuan hati, pengucapan lisan, dan pengalaman anggota tubuh merupakan
satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Untuk mencapai keimanan yang
benar tidak hanya berdasarkan fitrah pengakuan hati nurani saja, tetapi
harus dipadukan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Cara Beriman Kepada Allah SWT
Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang tergabung dalam rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari keimanan yang lain, maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada diri seseorang. Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar, maka ketidak-benaran ini akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman
kepada malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab Nya, rasul-rasul Nya, hari
kiamat, serta qadha dan qadar Nya. Dan pada akhirnya akan merusak ibadah
seseorang secara keseluruhan. Di masyarakat tidak jarang kita jumpai cara-cara beribadah seorang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, padahal orang tersebut mengaku beragama Islam.
Ditinjau dari segi yang umum dan yang khusus ada dua cara beriman kepada Allah SWT :
a. Bersifat Ijmali
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali maksudnya adalah, bahwa kita mepercayai Allah SWT secara umum atau secara garis besar. Al-Qur’an sebagai suber ajaran pokok Islam telah memberikan
pedoman kepada kita dalam mengenal Allah SWT. Diterangkan, bahwa Allah
adalah dzat yang Maha Esa, Maha Suci. Dia Maha Pencipta, Maha Mendengar,
Maha Kuasa, dan Maha Sempurna.
b. Bersifat Tafshili
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat tafsili, maksudnya adalah mempercayai Allah secara rinci. Kita wajib percaya
dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat yang berbeda
dengan sifat-sifat makhluk Nya. Sebagai bukti adalah adanya “Asmaul
Husna” yang kita dianjurkan untuk berdoa dengan Asmaul Husna serta
menghafal dan juga meresapi dalam hati dengan menghayati makna yang
terkandung di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar