Sejak masa hidup Nabi Muhammad, perempuan telah memainkan peran
penting sebagai periwayat hadits. Banyak perilaku dan sabda Nabi
diriwayatkan oleh mereka. Nama-nama seperti Hafsah, Ummu Habibah,
Maimunah, Ummu Salamah, dan A’isyah, sudah tidak asing bagi kalangan
santri yang belajar hadits. Begitu juga setelah Rasulullah wafat, para
Sahabat perempuan, khususnya istri-istri Nabi, banyak yang menjadi
rujukan atau tumpuan tempat bertanya tentang berbagai hal terkait dengan
perilaku dan sabda Nabi.
Pada era Tabi’in (generasi setelah Sahabat), perempuan memegang posisi
penting sebagai ahli perawi hadits. Hafsah, putri Ibnu Sirin, Ummu
ad-Darda’ dan Amrah binti Abdurrahman, adalah sebagian kecil dari ahli
periwayat hadith pada periode ini. Ummu ad-Darda’ oleh Iyas bin
Muawiyyah dianggap lebih unggul (rajih) dibanding muhaddits terkenal Al
Hasan Al Basri dan Ibnu Sirin. Amrah dianggap memiliki otoritas tinggi
dalam meriwayatkan hadits yang berasal dari Aisyah. Di antara muridnya
adalah Abu Bakar bin Hazm, hakim terkemuka di Madinah yang mendapat
perintah untuk menulis seluruh hadits yang berasal dari riwayat Amrah
binti Abdurrahman.
Selain itu, ada nama-nama muhaddits (ahli hadits) perempuan seperti
‘Abidah al-Madaniyyah, ‘Abdah binti Bishr, Ummu Umar al-Thaqafiyyah,
Zainab cucu dari Ali bin Abdullah bin Abbas, Nafisa binti al-Hasan bin
Ziyad, Khadijah Ummu Muhammad, ‘Abdah binti Abdurrahman, dan lain-lain.
Para ulama perempuan ini berasal dari latar belakang yang sangat
beragam, yang menunjukkan bahwa status sosial dan gender bukanlah
penghalang untuk menjadi ulama Islam mumpuni..
Sebagai contoh, Abidah Al Madaniyyah adalah seorang hamba sahaya
(budak) dari Muhammad bin Yazid. Ia belajar hadits dari sejumlah ulama
Madinah. Konon, Abidah meriwayatkan puluhan ribu hadith dari otoritas
guru-guru haditsnya di Madinah tersebut.
Zainab binti Sulaiman (wafat. 142H/759M), kebalikan dari Abidah. Dia
lahir sebagai seorang putri bangsawan. Ayahnya adalah sepupu As-Saffah,
pendiri dinasti Abbasiyah dan gubernur Basrah (Irak), Oman, dan Bahrain
selama masa khalifah Al Mansur. Zainab yang mendapat pendidikan yang
baik dapat menguasai hadits dan terkenal sebagai salah satu muhaddits
paling terkemuka pada masanya, dan banyak ulama laki-laki yang pernah
menjadi muridnya.
Pada abad keempat hijrah atau kesepuluh masehi, terdapat nama Fatimah
binti Abdurrahman As-Sufiyyah (wafat 312H/924H), Fatimah cucu dari Abu
Daud (penyusun kitab Sunan Abu Daud), Amat Al Wahid (wafat 377H/ 987M),
putri dari mufti terkemuka Al Muhamili; Ummu Al Fath Amat As-Salam
(wafat, 390H/999M), putri dari hakim Abu Bakar Ahmad Ahmad (w.
350H/961M). Jumuah binti Ahmad, dan lain-lain yang pengajian haditsnya
banyak dikunjungi orang.
Banyaknya muhaddits perempuan berlanjut hingga abad kelima dan keenam
hijrah atau ke-11 dan ke-12 masehi. Fatimah binti Al Hasan bin Ali bin
Ad-Daqqaq Al Qusyairi dipuji tidak hanya karena ketakwaan dan keindahan
kaligrafinya, tetapi juga karena penguasaan hadits dan kualitas sanad
yang dia ketahui. Muhaddits perempuan lain adalah Karimah Al Marwaziyyah
(w. 464H/1070M) yang dianggap memiliki otoritas terbaik atas kitab
hadits Sahih Al Bukhari. Al Khatib Al Baghdadi dan Al Humaidi adalah
sebagian dari murid-muridnya.
Ulama ahli hadits terkemuka lain pada abad ke-11 dan 12 Masehi adalah
Fatimah binti Muhammad (w.539/1144; Syuhdah Al Katib (w.574/1178), and
Sitt al-Wuzara binti Umar (w.716/1316) yang semuanya merupakan spesialis
hadits Sahih Al Bukhari.
Ulama muhaddits yang lain adalah Ummu al-Khayr Fatima binti Ali
(w.532/1137), dan Fatima al-Shahrazuriyya (w.524/1129) keduanya adalah
ahli hadits Sahih Muslim. Sedangkan Fatima al-Shahrazuriyya juga ahli
hadits Mu’jam At Thabrani. Ada juga Zainab Al Harran (w. 68/1289) yang
mengajarkan kitab Musnad Ahmad ibnu Hanbal yang merupakan salah satu
dari kutubus sittah (kitab hadits yang enam). Pada periode ini dikenal
juga ulama perempuan ahli hadits bernama Juwayriyah binti Umar
(w.783/1381), dan Zainab binti Ahmad bin Umar (w.722/1322), yang sudah
melakukan perjalanan sangat jauh untuk mencari hadits dan menyampaikan
kuliah hadits di Mesir dan Madinah. Ia meriwayatkan pada murid-muridnya
kumpulan hadits al-Darimi dan Abd bin Humaid. Selain itu ada juga Zainab
binti Ahmad (w.740/1339) yang lebih dikenal dengan panggilan Bintul
Kamal. Dia menyampaikan pengajian kitab Musnad Abu Hanifa, Syama’il
Tirmidzi dan Syarh Ma’ani Al Athar dari At Tahawi. Kitab terakhir ini
dia baca bersama ahli hadits perempuan lain yaitu Ajibah binti Abu Bakar
(w. 740/1339).
Ibnu Asakir, seorang ahli sejarah terkemuka asal Damaskus mengatakan
bahwa dia telah belajar pada 1.200 guru laki-laki dan 80 guru perempuan
dan mendapat ijazah sanad hadits dari Zainab binti Abd al-Rahman untuk
kitab Muwatta’ Imam Malik. Jalaluddin As Suyuti belajar kitab Ar
Risalah-nya Imam Syafi’i pada Hajar binti Muhammad. Sedangkan Afifuddin
Junaid, seorang ahli hadits abad ke-9 Hijrah/15 Masehi, belajar kitab
hadits Sunan Ad Darimi pada Fatimah binti Ahmad bin Qasim.
Dalam kitab Ad Durar Al Karimah fi A`yaan al-Mi’at al-Tsaminah, Ibnu
Hajar Al Asqalani menulis biografi singkat tentang 170 ulama perempuan
abad kedelapan hijrah atau ke-14 masehi. Kebanyakan dari mereka adalah
perempuan termasuk di antaranya adalah guru Ibnu Hajar sendiri.
Ahli hadits perempuan terkemuka paling mutakhir adalah Fatima
al-Fudayliyah (w. 1247/1831.52) yang dikenal sebagai al-Shaykha
al-Fudayliya. Ia lahir sebelum akhir abad ke-12 hijrah / 18 masehi.
Disamping ahli hadits, ia juga ahli di bidang seni kaligrafi dan
sejumlah ilmu-ilmu Islam lain. Menjelang akhir hidupnya, ia tinggal di
Makkah di mana ia mendirikan perpustakaan umum yang besar. Pengajiannya
di Makkah dihadiri oleh banyak ahli hadits ternama seperti Syaikh Umar
Al Hanafi dan Syaikh Muhammad Sali.
Dari uraian singkat di atas, terbuka satu horizon baru bahwa dalam
konteks khazanah keilmuan Islam, perempuan juga memainkan peran penting
sebagai pembawa tongkat estafet transmisi informasi ilmu pengetahuan
agama, khususnya hadits, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Perempuan juga tidak hanya menjadi murid. Mereka juga menjadi guru dari
para ulama laki-laki terkemuka. Sebagai ulama, para wanita ini juga
dikenal sangat menjaga akhlak, syariah dan perilaku Islami ideal.[]
Oleh A.
Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al Khoirot
Pondok Pesantren Al Khoirot
Karangsuko, Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar