Minggu, 29 Juli 2012

10 mesjid terindah di dunia

nih mau share aja 10 masjid terindah di dunia
penilaiannya dari luas masjid, sejarah, fasilitas dan kegunaannya
 

1. Masjid Al Haram, Makkahm, Saudi Arabia


Al-Masjid Al-Haram (المسجد ال�*رام ) merupakan masjid terbesar di dunia. Terletak di kota Mekkah, ia seputar Kaaba, tempat yang muslim sambil menoleh ke arah yang menawarkan harian doa dan dianggap tempat yang holiest di Bumi oleh umat Islam. Masjid ini juga dikenal sebagai Grand Mosque.

Saat ini struktur yang mencakup wilayah 400.800 meter persegi (99,0 acres) termasuk luar dan dalam ruang doa dan dapat menampung sampai 4 juta selama ibadah haji periode, salah satu yang terbesar tahunan gatherings orang di dunia.  
Masjid juga digunakan sebagai pusat masyarakat, pengadilan, dan sekolah agama. Ada satu platform untuk membangkitkan orang-orang yang yang diajarkan Alquran.

2. Masjid Al Nabawi, Madina, Saudi Arabia 

Masjid Al-Aqsa (Arab: المسجد الاقصى, "Masjid yang terjauh"), juga dikenal sebagai Al-Aqsa, adalah sebuah tempat suci Islam di Kota Lama dari Yerusalem. Di masjid itu sendiri merupakan bagian dari Al-Haram ash-Sharif atau "Sacred Noble Sanctuary" (bersama-sama dengan Dome of the Rock), sebuah situs yang juga dikenal sebagai Gunung Bait dan situs tersuci situs dalam Judaisme, karena diyakini menjadi tempat Bait di Yerusalem sekali berdiri. secara luas dianggap sebagai yang ketiga tersuci situs dalam Islam, umat Islam percaya bahwa nabi Muhamad SAW itu diangkat dari Masjidilharam di Mekah ke Al-Aqsa selama Perjalanan Malam. tradisi Islam menyatakan bahwa Muhamad SAW memimpin doa terhadap situs ini sampai ketujuhbelas bulan setelah emigrasi, ketika Tuhan memerintahkan dia untuk berbelok ke arah Ka'aba.

Di Masjid Al-Aqsa pada awalnya kecil doa rumah dibangun oleh Rashidun kalif Umar, tetapi telah dibangun dan dikembangkan oleh Ummayad kalifat Abd al-Malik dan selesai oleh anaknya Al-Walid di 705 CE. Setelah gempa bumi di 746, masjid itu benar-benar hancur dan dibangun oleh Abbasid kalifat Al-Mansur di 754, dan kembali lagi oleh para penerus al-Mahdi di 780. gempa Lain bumi paling hancur paling al-Aqsa pada 1033, tetapi dua tahun kemudian Fatimid kalifat Ali az-Zahir lain dibangun masjid yang telah berdiri hingga saat ini-hari. Selama periodik dilakukan renovasi, berbagai dynasties memerintah dari Islam kalifat tambahan untuk dibangun masjid dan daerah sekitar, seperti kubah, penglihatan, dan minbar, minarets struktur dan interior. Bila Crusaders diambil di Yerusalem 1099, mereka menggunakan masjid sebagai istana dan gereja, tetapi fungsinya sebagai masjid telah dikembalikan setelah kembali oleh Saladin. Lagi renovasi, perbaikan dan penambahan dilakukan dalam abad kemudian oleh Ayyubids, Saat ini, Kota Lama dibawah Israel kontrol, tetapi masih di bawah masjid Administrasi Palestina yang dipimpin-Islam waqf.

3. Masjid Al Aqsa, Jerusalem, Israel (Palestine)

4. Zahir Mosque, Kedah, Malaysia 
Masjid ini dibangun pada tahun 1912, sebuah usaha yg dibiayakan Tunku Mahmud Ibni Almarhum Sultan Tajuddin Mukarram Shah. Situs ini masjid merupakan makam dari Kedah warriors yang telah meninggal sambil mempertahankan Kedah dari Siam pada 1821. Arsitektur dari masjid ini terinspirasi oleh AZIZI Masjid di Langkat kota di utara Sumatera. Masjid ini ditingkatkan dengan lima besar utama domes melambangkan lima prinsip-prinsip Islam.

5. Omar Ali Saifuddin, Brunei

Sultan Omar Ali Saifuddin Mosque adalah masjid kerajaan Islam yang terletak di Bandar Seri Begawan, ibukota Kesultanan Brunei. Masjid diklasifikasikan sebagai salah satu masjid paling spektakuler di kawasan Asia Pasifik dan menjadi daya tarik utama bagi para turis. Sultan Omar Ali Saifuddin Mosque dianggap di antara orang-orang Brunei sebagai landmark dari negaranya.

6.Taj'ul Masjid, Bhopal, India

Taj-ul-Masajid, adalah sebuah masjid yang terletak di Bhopal, India. Ini adalah salah satu mesjid terbesar di Asia . Masjid juga digunakan sebagai sebuah madrasah (sekolah Islam) di siang hari.

7. Baiturrahman, Bandar Aceh, Indonesia

Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah masjid yang berada di pusat Kota Banda Aceh. Masjid ini dahulunya merupakan masjid Kesultanan Aceh.

Sewaktu Belanda menyerang kota Banda Aceh pada tahun 1873, masjid ini dibakar, kemudian pada tahun 1875 Belanda membangun kembali sebuah masjid sebagai penggantinya.

Mesjid ini berkubah tunggal dan dapat diselesaikan pada tanggal 27 Desember 1883. Selanjutnya Mesjid ini diperluas menjadi 3 kubah pada tahun 1935. Terakhir diperluas lagi menjadi 5 kubah (1959-1968).

Masjid ini merupakan salah satu masjid yang terindah di Indonesia yang memiliki bentuk yang manis, ukiran yang menarik, halaman yang luas dan terasa sangat sejuk apabila berada di dalam ruangan masjid tersebut.

8. Sultan Mosque, Singapore

Masjid Sultan , terletak di Muscat Street and North Bridge Road di Kampung Glam Kabupaten Rochor Perencanaan Wilayah di Singapura. Masjid dianggap salah satu yang paling penting masjid di Singapura. Doa Aula dan domes menyorot dari masjid fitur star.
Masjid Sultan telah tinggal dasarnya tidak berubah sejak dibangun, hanya dengan perbaikan dilakukan untuk ruang utama di tahun 1960 dan lampiran yang ditambahkan pada tahun 1993 . Ia tetapkan sebagai monumen nasional pada tanggal 14 Maret 1975.
 
9. Masjid Faisal , Islamabad, Pakistan

Faisal di Masjid di Islamabad adalah masjid terbesar di Indonesia dan Asia Selatan dan masjid terbesar keempat di dunia. Itu adalah masjid terbesar di dunia 1986-1993 ketika di kalahkan ukuran oleh selesainya Masjid Hassan II di Casablanca, Maroko. Setelah ekspansi dari Masjid Al-Haram (Grand Mosque) dari Mekkah dan Al-Masjid Al-Nabawi (Mesjid Nabi) di Madinah, Arab Saudi pada tahun 1990-an, Masjid Faisal Masjid ke tempat keempat terbesar di dunia.






10. masjid Baitul Mukarram, Dhaka, Bangladesh

ini adalah masjid nasional dari Bangladesh. Terletak di jantung kota Dhaka, ibukota Bangladesh, ini masjid didirikan di tahun 1960-an. Memiliki kapasitas 30.000 orang, menjadi 10 Masjid terbesar di dunia, namun masih mendapatkan mesjid terlalu penuh dengan setia muslim ibadah. Karena ini, pemerintah bangladesh telah memutuskan untuk menambahkan ekstensi (pelebaran) masjid.

Tata Cara Wudhu



- Menuangkan air dari bejana (gayung) untuk mencuci telapak tangan sebanyak tiga kali ;
- Kemudian menyiduk air dengan tangan kanan lalu berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya sebanyak tiga kali ;

- Kemudian membasuh wajah sebanyak tiga kali ;
- Kemudian mencuci kedua tangan sampai siku sebanyak tiga kali ;
- Kemudian mengusap kepala dan kedua telinga sekali usap ;
- Kemudian mencuci kaki sampai mata kaki sebanyak tiga kali. Ia boleh membasuhnya sebanyak dua kali atau mencukupkan sekali basuhan saja.
Setelah itu hendaknya ia berdoa:
Asyhadu allaa ilaaha illallah wahdahu laa syarikalahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu, Allahummaj ‘alni minat tawwabiin waj’alni minal mutathahhiriin.”
Artinya: “Saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak disembah dengan benar selain Allah semata tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Yaa Allah jadikanlah hamba termasuk orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.
Adapun sebelumnya hendaklah ia mengucapkan ‘bismillah’ berdasarkan hadits yang berbunyi:
“Tidak sempurna wudhu’ yang tidak dimulai dengan membaca asma Allah (bismillah).”
(H.R At-Tirmidzi 56)

(Dinukil dari Fatawa Lajnah Daimah juz V/231. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa)

Beginilah Cara Wudhu dalam Sunnah

Penulis: Buletin Jum’at At-Tauhid
Wudhu’ ( الْوُضُوْءُ ) adalah sebuah sunnah (petunjuk) yang berhukum wajib, ketika seseorang mau menegakkan sholat. Sunnah ini banyak dilalaikan oleh kaum muslimin pada hari ini sehingga terkadang kita tersenyum heran saat melihat ada sebagian diantara mereka yang berwudhu’ seperti anak-anak kecil, tak karuan dan asal-asalan. Mereka mengira bahwa wudhu itu hanya sekedar membasuh dan mengusap anggota badan dalam wudhu’. Semua ini terjadi karena kejahilan tentang agama, taqlid buta kepada orang, dan kurangnya semangat dalam mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Banyak diantara kita lebih bersemangat mempelajari dan mengkaji masalah dunia, bahkan ahli dan pakar di dalamnya. Tiba giliran mempelajari agama, dan mengkajinya, banyak diantara kita malas dan menjauh, sebab tak ada keuntungan duniawinya. Bahkan terkadang menuduh orang yang belajar agama sebagai orang kolot, dan terbelakang. Ini tentunya adalah cara pandang yang keliru. Na’udzu billahi min dzalik.
Download File Kajian 055 Wudhu mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/balikpapan/shahih_bukhari/055.-Wudhu.mp3
055 Wudhu mp3 055 Wudhu 055 mp3 055 Wudhu mp3 055 Wudhu 055 mp3 Wudhu mp3 Wudhu mp3
Download File Kajian 056 keragu raguan tidak membatalkan wudhu mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/balikpapan/shahih_bukhari/056-keragu-raguan-tidak-membatalkan-wudhu.mp3
056 keragu raguan tidak membatalkan wudhu mp3 056 keragu raguan tidak membatalkan wudhu 056 keragu raguan tidak membatalkan mp3 056 keragu raguan tidak memba
Download File Kajian 040 Berkumur kumur dalam berwudhu Ust Asykari Kitab shohih Bukhori mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/balikpapan/shahih_bukhari/040-Berkumur-kumur-dalam-berwudhu_Ust.-Asykari_Kitab-shohih-Bukhori.mp3
040 Berkumur kumur dalam berwudhu Ust Asykari Kitab shohih Bukhori mp3 040 Berkumur kumur dalam berwudhu Ust Asykari Kitab shohih Bukhori 040 Berkumur kumur d
Download File Kajian 023 bab keutamaan wudhu ghurrah muhajjalin dari bekas wudhu 
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/balikpapan/shahih_bukhari/023-bab-keutamaan-wudhu-ghurrah-muhajjalin-dari-bekas-wudhu.
023 bab keutamaan wudhu ghurrah muhajjalin dari bekas wudhu 023 bab keutamaan wudhu ghurrah muhajjalin dari bekas wudhu 023 bab keutamaan wudhu ghurrah muhajj
Para pembaca yang budiman, demi menghilangkan kejahilan dan keraguan kita tentang cara berwudhu’, maka ada baiknya kami mengajak anda berkeliling menikmati dan memperhatikan hadits-hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang menjelaskan tata cara dan kaifiat wudhu yang benar. Karena pembahasan wudhu’ ini agak panjang, maka –insya’ Allah- kami akan menurunkan pembahasan ini secara musalsal (berseri).

    * Batasan Wudhu’

Bila menilik kitab-kitab dan manuskripsi klasik dan kontemporer para ulama kita, maka anda akan menjumpai bahwa para ahli ilmu telah membahas definisi dan batasan wudhu’ ( الْوُضُوْءُ ) dari sisi bahasa maupun istilah dalam syara’.
Seorang ahli bahasa, Al-Imam Ibnul Atsir Al-Jazariy -rahimahullah- menjelaskan bahwa jika dikatakan wadhu’ ( الْوَضُوْءُ ), maka yang dimaksud adalah air yang digunakan berwudhu. Bila dikatakan wudhu’ ( الْوُضُوْءُ ), maka yang diinginkan disitu adalah perbuatannya. Jadi, wudhu adalah perbuatan, sedang wadhu’ adalah air wudhu’. [Lihat An-Nihayah fi Ghoribil Hadits (5/428)]
Syari’at wudhu’ mengandung hikmah yang amat dalam. Diantara hikmah wudhu’, seorang dibimbing agar ia memulai aktifitas ibadah dan kehidupannya dengan kesucian dan keindahan. Sebab wudhu itu sebenarnya bermakna keindahan, dan kesucian [Lihat Ash-Shihhah fil Lughoh (2/282) karya Al-Jauhariy]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata, “Kata wudhu’ terambil dari kata al-wadho’ah/kesucian ( الْوَضَاءَةُ ). Wudhu disebut demikian, karena orang yang sholat membersihkan diri dengannya. Akhirnya, ia menjadi orang yang suci”. [Lihat Fathul Bariy (1/306)]
Adapun makna wudhu’ menurut tinjauan syari’at, kata Syaikh Sholih Ibnu Ghonim As-Sadlan -hafizhohullah-,
مَعْنَى الْوُضُوْءِ : اسْتِعْمَالُ مَاءٍ طَهُوْرٍ فِي اْلأَعْضَاءِ اْلأَرْبَعَةِ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوْصَةٍ فِي الشَرْعِ
“Makna wudhu’ adalah menggunakan air yang suci lagi menyucikan pada anggota-anggota badan yang empat (wajah, tangan, kepala, dan kaki) berdasarkan tata cara yang khusus menurut syari’at”. [Lihat Risalah fi Al-Fiqh Al-Muyassar (hal. 19)]
    * Kewajiban-kewajiban Wudhu’
Para ulama fiqih telah menerangkan bahwa wudhu memiliki kewajiban-kewajiban ( فُرُوْضٌ ), yakni anggota-anggota badan yang harus dan wajib dibasuh (dicuci). Kewajiban-kewajiban ( فُرُوْضٌ ) tersebut adalah:
  1. Membasuh wajah. Termasuk wajah, adalah hidung, dan mulut.
   2. Membasuh kedua tangan sampai kepada dua siku.
   3. Mengusap kepala (termasuk kepala, adalah kedua telinga kita)
   4. Membasuh kedua kaki sampai kepada kedua mata kaki
   5. Melakukannya secara berurutan sesuai yang disebutkan dalam Al-Qur’an
        (QS. Al-Maa’idah : 6)
   6. Dilakukan secara beruntun, tanpa selang waktu yang lama.
Inilah enam furudh (kewajiban) bagi wudhu’ yang harus anda penuhi. Kapan ada salah satunya yang tak terpenuhi, maka wudhu’ kita tak sah, walaupun berwudhu’ beribu-ribu kali. Enam perkara ini telah disebutkan oleh Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.


Orang yang tangan atau kakinya terpotong, maka ia mencuci bagian yang tersisa yang wajib dicuci. (Lihat G. 9). Dan apabila tangan atau kaki-nya itu terpotong semua maka cukup mencuci bagian ujungnya saja.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS. Al-Maa’idah : 6)
Dari sebagian sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلاً يُصَلّيِْ وَفِي ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةٌ قَدْرَ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ وَالصَّلاَةَ
“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melihat seseorang melakukan sholat, sedang pada punggung kakinya terdapat lum’ah (bagian yang tak tercuci) seukuran uang dirham yang tak terkena air wudhu. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pun memerintahkannya untuk mengulangi wudhu’ dan sholatnya”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1/216), dan Ahmad (14948). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa' (86)]
Muhaddits Negeri India, Syamsul Haqq Al-Azhim Al-Abadiy -rahimahullah- berkata saat memetik faedah agung dari hadits ini, “Hadits ini di dalamnya terdapat dalil yang gamblang tentang wajibnya muwaalat (melakukan wudhu secara beruntun, tanpa selang waktu yang lama). Karena perintah mengulangi wudhu’ sebab membiarkan adanya lum’ah (bagian yang tak tercuci). Perintah itu tak terjadi, kecuali karena wajibnya muwaalaat. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik, Al-Auza’iy, Ahmad bin Hanbal, dan Asy-Syafi’iy dalam sebuah pendapat beliau”. [Lihat Aunul Ma'bud (1/192)]
Hadits ini adalah hujjah atas orang-orang Syi’ah-Rofidhoh, sebab hadits ini menjelaskan wajibnya mencuci kaki, bukan diusap sebagaimana yang disangka oleh orang-orang jahil dari kalangan Syi’ah-Rofidhoh. Barangsiapa yang tidak mencuci alias membasuh kaki saat berwudhu’, maka wudhu’nya tak sah, dan juga sholatnya tak sah. Bahkan boleh jadi ia berdosa dengan perbuatannya tersebut, sebab ia menganggap sesuatu yang haram sebagai ibadah dan ketaatan!!
Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata, “Barangsiapa (seperti, kalangan Syi’ah) yang mewajibkan mengusap kedua kaki sebagaimana khuff (sepatu selop) diusap, maka sungguh ia sesat, dan menyesatkan!! Demikian pula barangsiapa yang membolehkan untuk mengusap kedua kakinya, dan membolehkan mencuci keduanya, maka sungguh ia telah keliru juga. Barangsiapa yang menukil dari Abu Ja’far Ibnu Jarir bahwa beliau mewajibkan mencuci keduanya berdasarkan hadits-hadits tersebut, dan mewajibkan pengusapan keduanya berdasarkan ayat ini, maka ia belumlah mendudukkan madzhab Ibnu Jarir dengan benar dalam perkara itu. Karena ucapan beliau dalam Tafsir-nya hanyalah menunjukkan bahwa yang beliau maksudkan bahwa wajib menggosok kedua kaki dibandingkan anggota badan lainnya, sebab kedua kaki menyentuh tanah, lumpur, dan lainnya. Lantaran itu, beliau mewajibkan untuk menggosok kedua kaki agar hilang sesuatu yang ada di atasnya. Cuma beliau mengungkapkan tentang menggosok dengan kata “mengusap”. Maka orang yang tidak merenungi ucapan beliau meyakini bahwa beliau menginginkan wajibnya menggabungkan antara mencuci dan mengusap kedua kaki!!”. [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Karim (3/53)]
Diantara dalil dari As-Sunnah An-Nabawiyyah yang menunjukkan wajibnya mencuci kaki, hadits dari Abdullah bin Amr -radhiyallahu anhu- beliau berkata,
تَخَلَّفَ عَنَّا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا، فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلاَةُ، صَلاَةُ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ : أَسْبِغُوْا الْوُضُوْءَ وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah tertinggal dari kami dalam suatu safar yang kami lakukan. Kemudian beliau pun menjangkau kami, sedang sungguh sholat telah menjumpai kami –yaitu sholat Ashar-. Kami berwudhu’, lalu kami mulai menggosok kedua kaki kami. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berteriak dengan sekeras-kerasnya, “Sempurnakanlah wudhu’!! Kecelakaan bagi tumit-tumit dari neraka”. [HR. Al-Bukhoriy (60), dan Muslim (241)]
Para pembaca yang budiman, ketika seseorang berwudhu, maka ada beberapa perkara yang perlu diingat bahwa saat mengusap kepala, hendaknya jangan lupa mengusap kedua telinga karena keduanya termasuk kategori kepala. Oleh karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda usai mengusap kepala dan telinganya,
الاُذُنَانِ مِنْ الرَّأْسِ
“Kedua telinga termasuk kepala”. [HR. Abu Dawud (134), At-Tirmidziy (37), dan Ibnu Majah (444). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (36)]
Ahli Hadits Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan faedah-faedah dari hadits ini, “Jika hadits ini sungguh telah shohih, maka ia menunjukkan tentang dua perkara yang berselisih di dalamnya pendapat para ulama’. Adapun perkara yang pertama, yaitu bahwa mengusap kedua telinga, apakah wajib atau sunnah (mustahab)? Pendapat pertama (wajibnya mengusap telinga) didukung oleh orang-orang Hanabilah. Hujjah mereka adalah hadits ini, karena sesungguhnya hadits ini tegas dalam memasukkan kedua telinga dalam kategori kepala. Tidaklah demikian, kecuali untuk menjelaskan bahwa hukum keduanya dalam pengusapan seperti hukum kepala dalam hal itu. Jumhur condong menyatakan bahwa mengusap kedua telinga adalah sunnah (mustahab) saja sebagaimana yang tertera dalam kitab Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah (1/56). Namun kami belum pernah menemukan hujjah yang boleh dipegangi dalam menyelisihi hadits ini (yakni, hadits di atas), kecuali ucapan An-Nawawiy dalam Al-Majmu’ (1/415),
“Sesungguhnya hadits itu dho’if (lemah) dari seluruh jalur-jalur periwayatannya”. Jika anda telah mengetahui bahwa masalahnya tidaklah demikian, dan bahwa sebagian jalur-jalur periwayatan hadits itu adalah shohih, belum pernah ditelaah oleh An-Nawawiy; sebagiannya lagi shohih li ghoirih, maka anda mampu mengenal kelemahan hujjah ini (yakni, pernyataan An-Nawawiy), dan wajibnya berpegang teguh dengan pendapat yang ditunjukkan oleh hadits di atas berupa wajibnya mengusap kedua telinga, dan bahwa keduanya dalam hal itu seperti kedudukan kepala. Cukuplah sebagai teladan bagi kalian dalam pendapat ini Imam Sunnah Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal. Sedang pendahulu beliau dalam pendapat tersebut adalah sekelompok sahabat yang telah berlalu penyebutan nama sebagian diantara mereka di sela-sela men-takhrij hadits ini (yakni hadits di atas). Sedang An-Nawawiy sungguh telah mengembalikan pendapat ini (1/413) kepada mayoritas salaf”. [Lihat Ash-Shohihah (1/1/95/no. 36)]
Jadi, pendapat tentang wajibnya mengusap kedua telinga , sebab ia adalah bagian dari kepala adalah pendapat yang terkuat berdasarkan hadits di atas. Oleh karenanya, kebanyakan salaf (sahabat dan tabi’in) menguatkan pendapat ini.
Al-Imam Al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidziy -rahimahullah- berkata tentang hadits yang menyatakan bahwa telinga termasuk kepala, “Amalan adalah berdasarkan hadits ini di sisi mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, dan orang-orang setelahnya bahwa kedua telinga termasuk bagian dari kepala. Pendapat inilah yang dinyatakan oleh Sufyan Ats-Tsauriy, Ibnul Mubarok, Asy-Syafi’iy, Ahmad, dan Ishaq”. [Lihat Sunan At-Tirmidziy (1/152), cet. Dar Ihya' At-Turots Al-Arobiy, 1422 H]
Perkara lain yang perlu ditoleh ketika berwudhu’ –khususnya saat membasuh wajah-, berkumur-kumur, dan menghirup air ke dalam hidung dari satu telapak tangan, lalu menyemburkannya. Berkumur dan menghirup air ke hidung merupakan kewajiban yang masuk dalam kewajiban membasuh wajah, sebab mulut dan hidung bagian dari wajah.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَإِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلِيَجْعَلْ فِي أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لْيَنْتَثِرْ
“Jika seorang diantara kalian berwudhu’, maka hendaknya memasukkan air dalam hidungnya, lalu semburkanlah”. [Muslim dalam Ath-Thoharoh (237)]
Beliau juga bersabda dalam memerintahkan berkumur,
إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ
“Jika engkau berwudhu’, maka berkumur-kumurlah”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (144). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Sunan Abi Dawud (1/48/no. 144), cet. Maktabah Al-Ma'arif, 1421 H]
Di dalam hadits ini terdapat perintah berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung, lalu menyemburkannya. Ini menunjukkan wajibnya kedua perkara itu, sebab segala yang diperintahkan beliau hukumnya wajib, kecuali jika ada dalil lain yang memalingkan hukumnya menjadi mustahab atau mubah, sedang dalam perkara ini tak ada dalil yang memalingkannya. Jadi, hukumnya tetap wajib. Wallahu a’lam bish showaab.
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 118 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/artikel-islam/fiqh/beginilah-cara-wudhu-dalam-sunnah.html

Berwudhu dengan Air yang Tercampur Sabun


Bolehkah berwudhu dengan air bak mandi yang terkena percikan sabun hingga berubah warna, bau, dan rasanya?
Dijawab oleh Al-Ustadz Muhammad As-Sarbini Al-Makassari :
Air yang mengalami perubahan dari aslinya, baik perubahan warna, bau, atau rasa karena pengaruh campuran unsur lain yang suci, namun tidak didominasi oleh campuran tersebut dan masih tetap dinamakan air, tetap suci dan menyucikan (thahur). Seperti perubahan air bak yang bercampur dengan percikan sabun, air kolam yang kejatuhan daun-daun, air sawah yang bercampur tanah, atau yang lainnya. Ini tetap dinamakan air dan sah untuk wudhu atau mandi.
Berbeda halnya dengan air yang dicampur dengan bahan minuman seperti susu, kopi, teh, atau bumbu masakan, dan semacamnya, yang mendominasinya dan mengubah namanya menjadi nama lain, sehingga tidak lagi dinamakan air secara mutlak. Misalnya, dinamakan minuman teh, kopi, susu, atau kuah, dan yang semacamnya. Yang seperti ini sudah tidak termasuk kategori air yang menyucikan, meskipun suci. Dengan demikian, jenis ini tidak sah untuk wudhu dan mandi.
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berwudhu dengan air laut. Padahal air laut telah berubah rasanya menjadi asin dengan perubahan yang sangat drastis dari asal rasa air yang tawar. Demikian pula perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menggunakan air yang dicampuri daun bidara (yang telah ditumbuk halus) bagi wanita yang mandi suci dari haid/nifas dan dalam memandikan jenazah. Padahal campuran daun bidara tersebut tentu saja akan memberi perubahan pada air.
Lebih dari itu, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa air yang mengalami perubahan warna, bau, atau rasa oleh campuran unsur lain, tidak lagi termasuk kategori air yang menyucikan.
Inilah pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al-Fatawa (21/17-20 cet. Darul Wafa’), Asy-Syaikh As-Sa’di di dalam Al-Mukhtarat Al-Jaliyyah (hal. 12-13), Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa (10/19-20), dan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (1/38, 44, cet. Muassasah Asam). Ini juga adalah mazhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Ahmad.
Kalau pun terjadi perubahan warna, bau, atau rasa karena pengaruh benda najis yang bercampur dengannya, air itu bernajis dan sudah tidak suci lagi. Salah satu saja dari tiga sifat tersebut yang berubah, baik warna, bau, atau rasanya, maka air itu telah ternajisi dan tidak sah untuk wudhu atau mandi.
Kesimpulannya, air hanya terbagi menjadi dua:
1. Air yang suci lagi menyucikan (thahur), meskipun berubah sebagian sifatnya oleh campuran unsur suci, selama tidak mengubahnya keluar dari nama air ke nama lain. Jenis ini sah untuk wudhu dan mandi.
2. Air yang ternajisi oleh unsur najis yang mengubah salah satu sifatnya, baik warna, bau, maupun rasanya. Jenis ini tidak sah untuk wudhu dan mandi.
Wallahu a’lam. semoga bermanfaat dan sukses...

Indahnya Qiyamul Lail, Sholat Tahajjud di Malam Hari Qiyamul lail atau yang biasa disebut juga Sholat Tahajjud atau Sholat Malam adalah salah satu ibadah yang agung dan mulia , yang disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai ibadah nafilah atau ibadah sunnah. Akan tetapi bila seorang hamba mengamalkannya dengan penuh kesungguhan, maka ia memiliki banyak keutamaan. Berat memang, karena memang tidak setiap muslim sanggup melakukannya. Andaikan Anda tahu keutamaan dan keindahannya, tentu Anda akan berlomba-lomba untuk menggapainya. Benarkah ? Ya, banyak nash dalam Alquran dan Assunnah yang menerangkan keutamaan ibadah ini. Di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama: Barangsiapa menunaikannya, berarti ia telah mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan pada sebagian malam hari, sholat tahajjudlah kamu sebagai ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Al-Isro’:79) Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqor menerangkan: “At-Tahajjud adalah sholat di waktu malam sesudah bangun tidur. Adapun makna ayat “sebagai ibadah nafilah” yakni sebagai tambahan bagi ibadah-ibadah yang fardhu. Disebutkan bahwa sholat lail itu merupakan ibadah yang wajib bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagai ibadah tathowwu’ (sunnah) bagi umat beliau.” ( lihat Zubdatut Tafsir, hal. 375 dan Tafsir Ibnu Katsir: 3/54-55) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Sholat yang paling utama sesudah sholat fardhu adalah qiyamul lail (sholat di tengah malam).” (Muttafaqun ‘alaih) Kedua : Qiyamul lail itu adalah kebiasaan orang-orang shalih dan calon penghuni surga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, (yakni) mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 15-18). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah (yakni Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, -ed) seandainya ia sholat di waktu malam.” (HR Muslim No. 2478 dan 2479). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: “Wahai Abdullah, janganlah engkau menjadi seperti fulan, ia kerjakan sholat malam, lalu ia meninggalkannya.” (HR Bukhari 3/31 dan Muslim 2/185). Ketiga : Siapa yang menunaikan qiyamul lail itu, dia akan terpelihara dari gangguan setan, dan ia akan bangun di pagi hari dalam keadan segar dan bersih jiwanya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan qiyamul lail, ia akan bangun di pagi hari dalam keadan jiwanya dililit kekalutan (kejelekan) dan malas untuk beramal sholeh. Suatu hari pernah diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang tidur semalam suntuk tanpa mengingat untuk sholat, maka beliau menyatakan: “Orang tersebut telah dikencingi setan di kedua telinganya.” (Muttafaqun ‘alaih). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan: “Setan mengikat pada tengkuk setiap orang diantara kalian dengan tiga ikatan (simpul) ketika kalian akan tidur. Setiap simpulnya ditiupkanlah bisikannya (kepada orang yang tidur itu): “Bagimu malam yang panjang, tidurlah dengan nyenyak.” Maka apabila (ternyata) ia bangun dan menyebut nama Allah Ta’ala (berdoa), maka terurailah (terlepas) satu simpul. Kemudian apabila ia berwudhu, terurailah satu simpul lagi. Dan kemudian apabila ia sholat, terurailah simpul yang terakhir. Maka ia berpagi hari dalam keadaan segar dan bersih jiwanya. Jika tidak (yakni tidak bangun sholat dan ibadah di malam hari), maka ia berpagi hari dalam keadaan kotor jiwanya dan malas (beramal shalih).” (Muttafaqun ‘alaih) Keempat : Ketahuilah, di malam hari itu ada satu waktu dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang berdoa, Allah akan memberi sesuatu bagi orang yang meminta kepada-Nya, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya bila ia memohon ampunan kepada-Nya. Hal itu sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau: “Di waktu malam terdapat satu saat dimana Allah akan mengabulkan doa setiap malam.” (HR Muslim No. 757). Dalam riwayat lain juga disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Rabb kalian turun setiap malam ke langit dunia tatkala lewat tengah malam, lalu Ia berfirman: “Adakah orang yang berdoa agar Aku mengabulkan doanya?” (HR Bukhari 3/25-26). Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya, siapa yang memohon (sesuatu) kepada-Ku, niscaya Aku pun akan memberinya, dan siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya.” Hal ini terus terjadi sampai terbitnya fajar. (Tafsir Ibnu Katsir 3/54) Kesungguhan Salafus Shalih untuk menegakkan Qiyamul lail Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa tatkala orang-orang sudah terlelap dalam tidurnya, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu justru mulai bangun untuk shalat tahajjud, sehingga terdengar seperti suara dengungan lebah (yakni Al-Qur’an yang beliau baca dalam sholat lailnya seperti dengungan lebah, karena beliau membaca dengan suara pelan tetapi bisa terdengar oleh orang yang ada disekitarnya, ed.), sampai menjelang fajar menyingsing. Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah ditanya: “Mengapa orang-orang yang suka bertahajjud itu wajahnya paling bercahaya dibanding yang lainnya?” Beliau menjawab: “Karena mereka suka berduaan bersama Allah Yang Maha Rahman, maka Allah menyelimuti mereka dengan cahaya-Nya.” Abu Sulaiman berkata: “Malam hari bagi orang yang setia beribadah di dalamnya, itu lebih nikmat daripada permainan mereka yang suka hidup bersantai-santai. Seandainya tanpa adanya malam, sungguh aku tidak suka tinggal di dunia ini.” Al-Imam Ibnu Al-Munkadir menyatakan : “Bagiku, kelezatan dunia ini hanya ada pada tiga perkara, yakni qiyamul lail, bersilaturrahmi dan sholat berjamaah.” Al-Imam Hasan Al-Bashri juga pernah menegaskan: “Sesungguhnya orang yang telah melakukan dosa, akan terhalang dari qiyamul lail.” Ada seseorang yang bertanya: “Aku tidak dapat bangun untuk untuk qiyamul lail, maka beritahukanlah kepadaku apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab : “Jangan engkau bermaksiat (berbuat dosa) kepada-Nya di waktu siang, niscaya Dia akan membangunkanmu di waktu malam.”(Tazkiyyatun Nufus, karya Dr Ahmad Farid) Pembaca yang budiman, inilah beberapa keutamaan dan keindahan qiyamul lail. Sungguh, akan merasakan keindahannya bagi orang yang memang hatinya telah diberi taufik oleh Allah Ta’ala, dan tidak akan merasakan keindahannya bagi siapa pun yang dijauhkan dari taufik-Nya. Mudah-mudahan, kita semua termasuk diantara hamba-hamba-Nya yang diberi keutamaan menunaikan qiyamul lail secara istiqamah. Wallahu waliyyut taufiq. Dikutip dari salafy.or.id offline tulisan al Ustadz Abu Hamzah Yusuf. Judul: Indahnya Qiyamul Lail Kaifiat/Cara pelaksanaannya Pertanyaan: Assalaamu’alaikum, ana (saya) ‘Abdullah ingin bertanya tentang bagaimana cara shalat tahajjud yang sesuai dengan sunnah dan kapan ana bisa mendapati malam lailatul qodar? Bagaimana tentang imsak, apakah ada atau tidak? Kapan batasannya sahur? Jazaakumullaahu khairan. (08156177***) Jawaban: Wa’alaikumus salaam warahmatullaah. Shalat tahajjud (kalau di bulan Ramadhan lebih dikenal dengan istilah tarawih) yang sesuai dengan sunnah adalah sebelas raka’at sebagaimana diterangkan dalam hadits ‘A`isyah: مَا كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً “Nabi tidak pernah shalat malam baik di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at.” (HR. Al-Bukhariy no.1147 dan Muslim no.738) Sebelas raka’at di sini termasuk di dalamnya shalat witir tiga raka’at yang bisa dilakukan dengan dua cara: shalat dua raka’at dan salam kemudian shalat satu raka’at atau cara yang kedua, shalat tiga raka’at sekaligus dengan satu tahiyyat di raka’at ketiga kemudian salam. Tapi cara pertama itulah yang lebih utama. Dan dikerjakan dua-dua artinya setiap dua raka’at diakhiri salam, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar, dia berkata: Seorang laki-laki berdiri lalu berkata: Ya Rasulullah, bagaimana (caranya) shalat malam? Rasulullah bersabda: صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ “Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at, jika kamu takut masuk waktu shubuh maka witirlah satu raka’at.” (HR. Muslim no.749) Sehingga shalat malam itu paling sedikit satu raka’at (yaitu shalat witirnya saja) dan paling banyaknya 11 raka’at. Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Nabi shalat 13 raka’at maka 2 raka’atnya itu adalah shalat ba’da ‘isya atau qabliyyah shubuh. Dan paling utama dilakukan pada sepertiga malam akhir. (Lihat HR. Al-Bukhariy no.1131, 4569 dan Muslim no.1159) Lebih detailnya bisa dilihat di dalam kitab Qiyaamu Ramadhaan atau Shalaatut Taraawiih karya Asy-Syaikh Al-Albaniy. [Buletin AL Wala’ wal Bara’ Edisi ke-49 Tahun ke-2 / 29 Oktober 2004 M / 15 Ramadhan 1425 H] Kaifiat Qiyamullail (Shalat Lail) Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata: مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat (lail) baik di dalam bulan ramadhan maupun di luar ramadhan tidak pernah lebih dari 11 rakaat. Beliau memulai dengan mengerjakan 4 rakaat, kamu tidak usah menanyakan bagaimana baik dan panjangnya shalat beliau. Setelah itu beliau kembali mengerjakan 4 rakaat, kamu tidak usah menanyakan bagaimana baik dan panjangnya shalat beliau. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.” Aisyah berkata: Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum witir?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku memang tidur namun hatiku tidak.”(HR. Al-Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738) Dari Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا “Sesungguhnya puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Daud, sedangkan shalat yang paling disukai Allah adalah juga shalat Daud alaihissalam. Beliau tidur hingga pertengahan malam, kemudian bangun (untuk shalat lail) selama sepertiga malam, lalu kembali tidur pada seperenamnya (sisa malam). Dan beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Al-Bukhari no. 1131) Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat malam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى “Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah dia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. Al-Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749) Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ لِيُصَلِّيَ افْتَتَحَ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun di malam hari untuk menunaikan shalat malam, biasanya beliau memulai shalatnya dengan dua rakaat ringan.” (HR. Muslim no. 767) Waktu shalat lail Awal waktu shalat lail adalah setelah shalat isya dan akhir waktunya adalah setelah terbit fajar kedua. Ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengerjakan shalat sebelas rakaat pada waktu antara selesai shalat isya sampai subuh.” (HR. Muslim no. 736) Juga berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas. Karenanya Ibnu Nashr berkata dalam Mukhtashar Qiyam Al-Lail hal. 119, “Yang disepakati oleh para ulama adalah: Antara shalat isya hingga terbitnya fajar (shadiq/kedua) adalah waktu untuk mengerjakan witir.” Karenanya jika ada orang yang shalat maghrib-isya dengan jama’ taqdim, maka dia sudah boleh mengerjakan shalat lail walaupun waktu isya belum masuk. Sebaliknya, walaupun sudah jam 10 malam tapi jika dia belum shalat isya, maka dia belum diperbolehkan shalat lail. Hanya saja waktu yang paling ideal adalah dikerjakan selepas pertengahan malam, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Amr di atas. Jumlah rakaatnya Shalat lail minimal 2 rakaat dan paling banyak tidak terbatas. Ini berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas. Hanya saja, walaupun dibolehkan mengerjakan shalat lail tanpa ada batasan rakaat (selama itu genap), akan tetapi sunnahnya dia hanya mengerjakan 8 rakaat (plus witir 3 rakaat) berdasarkan hadits Aisyah yang pertama di atas. Disunnahkan juga untuk mengerjakan 2 rakaat ringan sebelum shalat lail -berdasarkan hadits Aisyah yang terakhir di atas-, sehingga total rakaatnya adalah 13 rakaat. Beberapa Cara/Kaifiyat melakukan Shalat Tahajud & Witir 1. Sholat 13 raka’at dibuka dengan 2 raka’at ringan. Hal ini berdasarkan hadits hadits Zaid bin Kholid Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim, beliau berkata : “Sungguh saya akan memperhatikan sholat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di malam hari maka beliau sholat dua raka’at ringan kemudian beliau sholat dua raka’at panjang, panjang, panjang sekali kemudian beliau sholat dua raka’at lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau berwitir maka itu (jumlahnya) tiga belas raka’at”. Dan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim, beliau berkata : “Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam apabila beliau berdiri di malam hari untuk sholat maka beliau membuka sholatnya dengan dua raka’at yang ringan” 2. Sholat 13 raka’at, 8 raka’at diantaranya dilakukan dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian witir 5 raka’at dengan satu kali tasyahhud dan satu kali salam. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Riwayat Muslim : “Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sholat di malam hari 13 raka’at, beliau witir darinya dengan 5 (raka’at) tidaklah beliau duduk pada sesuatupun kecuali hanya pada akhirnya” 3. Sholat 11 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at dan witir dengan 1 raka’at. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim, beliau berkata : “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sholat antara selesainya dari sholat isya` sampai sholat fajr (sholat subuh) sebelas raka’at, Beliau salam setiap dua raka’at dan witir dengan satu raka’at”. 4. Sholat 11 raka’at, tidak duduk kecuali pada raka’at kedelapan kemudian tasyahhud tanpa salam lalu berdiri untuk raka’at kesembilan kemudian salam, lalu sholat dua raka’at lagi dalam keadaan duduk. Hal tersebut diterangkan dalam hadits Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir riwayat Muslim, beliau bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang bagaimana sholat witir Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, maka beliau menjelaskan : “… Maka beliau bersiwak, berwudhu’ dan sholat 9 raka’at beliau tidak duduk kecuali pada yang kedelapan kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya lalu berdiri dan tidak salam. Kemudian beliau berdiri untuk kesembilan lalu duduk kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya lalu beliau salam sengan (suara) salam yang beliau perdengarkan kepada kami kemudian beliau sholat dua raka’at setelah salam dalam keadaan duduk, maka itu 11 raka’at wahai anakku. Ketika Nabi Allah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah berumur dan beliau bertambah daging (Baca bertambah berat) maka beliau witir dengan 7 (raka’at) dan berbuat pada yang dua raka’at seperti perbuatan beliau yang pertama, maka itu adalah sembilam (raka’at) wahai anakku” 5. Sholat 9 raka’at, tidak duduk kecuali pada raka’at keenam kemudian tasyahhud tanpa salam lalu berdiri untuk raka’at ketujuh kemudian salam, lalu sholat dua raka’at lagi dalam keadaan duduk. Hal ini di terangkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas. Berkata Syaikh Al-Albany : “Ini adalah beberapa kaifiyat yang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melakukannya pada sholat lail dan witir. Dan mungkin untuk ditambah dengan bentuk-bentuk yang lain, yaitu dengan mengurangi pada setiap bentuk yang tersebut jumlah raka’at yang ia kehendaki dan bahkan boleh baginya untuk membatasi dengan satu raka’at saja.” Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla menyebutkan beberapa bentuk lain : 6. Sholat 13 raka’at, yaitu salam pada setiap dua raka’at dan witir satu raka’at. 7. Sholat 8 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian ditambah witir 1 raka’at. 8. Sholat 6 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian witir 1 raka’at. 9. Sholat 7 raka’at, tidak tasyahhud kecuali pada yang keenam kemudian berdiri sebelum salam untuk raka’at ketujuh lalu duduk tasyahhud dan salam. 10. Sholat 7 raka’at dan tidak duduk untuk tasyahhud kecuali di akhirnya. 11. Sholat 5 raka’at dan tidak duduk untuk tasyahhud kecuali di akhirnya. 12. Sholat 3 raka’at, duduk tasyahhud pada raka’at kedua dan salam lalu witir 1 raka’at. 13. Sholat 3 raka’at tidak duduk tasyahhud dan salam kecuali pada raka’at terakhir2. 14. Sholat witir satu raka’at. Demikian beberapa kaifiyat yang disebutkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Sholatut Tarawih hal. 86-94 (Cet. Kedua) dan Qiyamu Ramadhan hal. 27-30 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 3/42-48. Dan Syaikh Al-Albany juga menyebutkan kaifiyat lain yaitu sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at. Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim : “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidaklah menambah pada (bulan) Ramadhan dan tidak pula pada selain Ramadhan lebih dari sebelas raka’at. Beliau sholat empat (raka’at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya, kemudian beliau sholat empat (raka’at)n jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya kemudian beliau sholat tiga (raka’at)”. Namun ada perbedaan pendapat di kalangan para Ulama tentang kaifiyat ini. Pendapat Abu Hanifah, Ats-Tsaury dan Al-Hasan bin Hayy boleh melakukan Qiyamul Lail 2 raka’at sekaligus, boleh 4 raka’at sekaligus, boleh enam raka’at sekaligus dan boleh 8 raka’at sekaligus, tidak salam kecuali di akhirnya. Kelihatannya pendapat ini yang dipegang oleh Syaikh Al-Albany sehingga beliau menetapkan kaifiyat sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at dengan sekali salam. Dan disisi lain, jumhur Ulama seperti Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq, Sufyan Ats-Tsaury, Ibnul Mubarak, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Ibnul Mundzir serta yang lainnya menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu ‘Umar, ‘Ammar radhiyallahu ‘anhuma, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Asy-Sya’by, An-Nakha’iy, Sa’id bin Jubair, Hammad dan Al-Auza’iy. Dan Ibnu ‘Abdil Barr berkata : “Ini adalah pendapat (Ulama) Hijaz dan sebahagian (Ulama) ‘Iraq.”, semuanya berpendapat bahwa sholat malam itu adalah dua raka’at-dua raka’at yaitu harus salam pada setiap dua raka’at. Ini pula pendapat yang dkuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz beserta para Syaikh anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah, dan juga pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan lain-lainnya sehingga mereka semua menyalahkan orang yang memahami hadits ‘Aisyah di atas dengan kaifiyat sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at, dan menurut mereka pemahaman yang benar adalah bahwa 4 raka’at dalam hadits itu adalah dikerjakan 2 raka’at 2 raka’at . Tarjih Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat Jumhur Ulama berdasarkan hadits hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa‘ala alihi wa sallam bersabda : “Sholat malam dua (raka’at) dua (raka’at)” Hadits ini adalah berita namun bermakna perintah yaitu perintah untuk melakukan sholat malam dua dua raka’at. Demikian keterangan Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa beliau 11/323-324. Baca pembahasan tentang masalah di atas dalam : Al-Istidzkar 2/95-98, 104-106, Fathul Bari 4/191-198, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 7/199-200 dan Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/18-20. Dan juga para Ulama berselisih pendapat tentang dua raka’at setelah witir pada kaifiyat no. 4 dan 5, ada tiga pendapat di kalangan ulama : 1. Sunnah dua raka’at setelah witir. Ini pendapat Katsir bin Dhomrah dan Khalid bin Ma’dan. Dan Al-Hasan dan Abu Mijlaz melakukannya, sedangkan Ibnu Rajab menukil hal tersebut dari sebahagian orang-orang Hanbaliyah. 2. Ada rukhshoh (keringanan) dalam hal tersebut dan bukan makruh. Ini adalah pendapat Al- Auza’iy, Ahmad dan Ibnul Mundzir. 3. Hal tersebut Makruh. Ini pendapat Qais bin ‘Ubadah, Malik dan Asy-Syafi’iy. Tarjih Tentunya dalil-dalil yang menjelaskan tentang kaifiyat itu adalah hujjah yang harus diterima tentang disyari’atkannya sholat dua raka’at setelah witir. Berkata Ibnu Taimiyah : “Dan kebanyakan Ahli Fiqh tidak mendengar tentang hadits ini (yaitu hadits tentang adanya dua raka’at setelah witir di atas,-pent.), kerena itu mereka mengingkarinya. Dan Ahmad dan selainnya mendengar (hadits) ini dan mengetahui keshohihannya dan Ahmad memberi keringanan untuk melakukan dua raka’at ini dan ia dalam keadaan duduk sebagaimana yang dikerjakan oleh (Nabi) shollallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa yang melakukan hal tersebut tidaklah diingkari, akan tetapi bukanlah wajib menurut kesepakatan (para Ulama) dan tidak dicela orang yang meniggalkannya….” Baca : Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/92-94, Fathul Bari Ibnu Rajab 6/260-264 dan Al- Mughny 2/281. 1 Yaitu disaksikan oleh malaikat rahmat. Demikian keterangan Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim 6/34. 2 Tambahan dari penulis dan tidak tertera dalam Al-Muhalla. 3 Artinya : Maha suci Yang Maha berkuasa lagi Yang Maha suci. Bacaan Dalam Sholat Tahajud Berkata Syaikh Al-Albany dalam Qiyamu Ramadhan hal. 23-25 : “Adapun bacaan dalam sholat lail pada Qiyam Ramadhan dan selainnya, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak menetapkan suatu batasan tertentu yang tidak boleh dilampaui dengan bentuk tambahan maupun pengurangan. Kadang beliau membaca pada setiap raka’at sekadar “Ya Ayyuhal Muzzammil” dan ia (sejumlah) dua puluh ayat dan kadang sekadar lima puluh ayat. Dan beliau bersabda : “Siapa yang sholat dalam semalam dengan seratus ayat maka tidaklah ia terhitung dalam orangorang yang lalai” “… dengan dua ratus ayat maka sungguh ia terhitung dari orang-orang yang Qonit (Khusyu’, panjang sholatnya,-pent.) lagi Ikhlash” Dan beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada suatu malam dan beliau dalam keadaan sakit membaca tujuh (surah) yang panjang, yaitu surah Al-Baqarah, Ali ‘Imran, An-Nisa`, Al- Ma`idah, Al-An’am, Al-A’raf dan At-Taubah. Dan dalam kisah sholat Hudzaifah bin Al-Yaman di belakang Nabi ‘Alaihish Sholatu was Salam bahwa beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca dalam satu raka’at Al-Baqarah kemudian An-Nisa’ kemudian Ali ‘Imran dan beliau membacanya lambat lagi pelan. Dan telah tsabit (syah, tetap) dengan sanad yang paling shohih bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu tatkala memerintah Ubay bin Ka’ab sholat mengimami manusia dengan sebelas raka’at dalam Ramadhan, maka Ubay radhiyallahu ‘anhu membaca dua ratus ayat sampai orang-orang yang di belakangnya bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah mereka bubar kecuali pada awal-awal fajar. Dan juga telah shohih dari ‘Umar bahwa beliau memanggil para pembaca Al-Qur`an di bulan Ramadhan kemudian beliau memerintah orang yang paling cepat bacaannya untuk membaca 30 ayat, orang yang pertengahan (bacaannya) 25 ayat dan orang yang lambat 20 ayat. Dibangun di atas hal tersebut, maka kalau seseorang sholat sendirian disilahkan memperpanjang sholatnya sesuai dengan kehendaknya, dan demikian pula bila ada yang sholat bersamanya dari kalangan orang yang sepakat dengannya (dalam memperpanjang,-pent.), dan semakin panjang maka itu lebih utama, akan tetapi jangan ia berlebihan dalam memperpanjang sampai menghidupkan seluruh malam kecuali kadang-kadang, dalam rangka mengikuti Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang bersabda : “Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam)” Dan apabila ia sholat sebagai imam maka hendaknya ia memperpanjang dengan sesuatu yang tidak memberatkan orang-orang di belakangnya, berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam : “Apabila salah seorang dari kalian Qiyam mengimami manusia maka hendaknya ia memperingan sholatnya karena pada mereka ada anak kecil, orang besar, pada mereka orang lemah, orang sakit dan orang yang mempunyai keperluaan. Dan apabila ia Qiyam sendiri maka hendaknya ia memperpanjang sholatnya sesuai dengan kehendaknya”.” Demikian keterangan Syaikh Al-Albany tentang bacaan pada Qiyamul lail, adapun dalam sholat witir, berikut ini beberapa hadits yang menjelaskannya, diantaranya adalah hadits Ubay bin Ka’ab riwayat Imam Ahmad dan lain-lainnya, beliau berkata : “Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata : “Subhanal Malikil Quddus”3 tiga kali.” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/160-161.) Dan dalam hadits ‘Abdurrahman bin Abi Abza riwayat Ahmad dan lainnya, beliau berkata : “Sesungguhnya beliau membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata : “Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus.” dan beliau mengangkat suaranya dengan itu .” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/161.) Berdasarkan dua hadits di atas, Ats-Tsaury, Ishaq dan Abu Hanifah menganggap sunnah membaca tiga surah di atas dalam sholat witir. Imam Malik dan Asy-Syafi’iy juga menganggap sunnah hal tersebut namun mereka dalam raka’at ketiga selain dari surah Al-Ikhlash juga menganggap sunnah menambahnya dengan surah Al-Falaq dan surah An-Nas. Namun hadits mengenai tambahan dua surah tersebut dianggap lemah oleh Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan Al- ‘Uqaily, karena itu seharusnya orang yang sholat witir tiga raka’at hanya terbatas dengan membaca surah Al-Ikhlash pada raka’at ketiga. Syaikh Al-Albany dalam Sifat Sholat An-Nabi hal. 122 (Cet. Kedua Maktabah Al-Ma’arif) juga menshohihkan hadits bahwa membaca dalam raka’at witir dengan seratus ayat dari An-Nisa`.

Indahnya Qiyamul Lail, Sholat Tahajjud di Malam Hari

Qiyamul lail atau yang biasa disebut juga Sholat Tahajjud atau Sholat Malam adalah salah satu ibadah yang agung dan mulia , yang disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai ibadah nafilah atau ibadah sunnah. Akan tetapi bila seorang hamba mengamalkannya dengan penuh kesungguhan, maka ia memiliki banyak keutamaan. Berat memang, karena memang tidak setiap muslim sanggup melakukannya.
Andaikan Anda tahu keutamaan dan keindahannya, tentu Anda akan berlomba-lomba untuk menggapainya. Benarkah ?
Ya, banyak nash dalam Alquran dan Assunnah yang menerangkan keutamaan ibadah ini. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama:
Barangsiapa menunaikannya, berarti ia telah mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan pada sebagian malam hari, sholat tahajjudlah kamu sebagai ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Al-Isro’:79)
Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqor menerangkan: At-Tahajjud adalah sholat di waktu malam sesudah bangun tidur. Adapun makna ayat “sebagai ibadah nafilah” yakni sebagai tambahan bagi ibadah-ibadah yang fardhu. Disebutkan bahwa sholat lail itu merupakan ibadah yang wajib bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagai ibadah tathowwu’ (sunnah) bagi umat beliau.” ( lihat Zubdatut Tafsir, hal. 375 dan Tafsir Ibnu Katsir: 3/54-55)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Sholat yang paling utama sesudah sholat fardhu adalah qiyamul lail (sholat di tengah malam).” (Muttafaqun ‘alaih)
Kedua : Qiyamul lail itu adalah kebiasaan orang-orang shalih dan calon penghuni surga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, (yakni) mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 15-18).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah (yakni Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, -ed) seandainya ia sholat di waktu malam.” (HR Muslim No. 2478 dan 2479). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: “Wahai Abdullah, janganlah engkau menjadi seperti fulan, ia kerjakan sholat malam, lalu ia meninggalkannya.” (HR Bukhari 3/31 dan Muslim 2/185).
Ketiga : Siapa yang menunaikan qiyamul lail itu, dia akan terpelihara dari gangguan setan, dan ia akan bangun di pagi hari dalam keadan segar dan bersih jiwanya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan qiyamul lail, ia akan bangun di pagi hari dalam keadan jiwanya dililit kekalutan (kejelekan) dan malas untuk beramal sholeh.
Suatu hari pernah diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang tidur semalam suntuk tanpa mengingat untuk sholat, maka beliau menyatakan: “Orang tersebut telah dikencingi setan di kedua telinganya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan: “Setan mengikat pada tengkuk setiap orang diantara kalian dengan tiga ikatan (simpul) ketika kalian akan tidur. Setiap simpulnya ditiupkanlah bisikannya (kepada orang yang tidur itu): “Bagimu malam yang panjang, tidurlah dengan nyenyak.” Maka apabila (ternyata) ia bangun dan menyebut nama Allah Ta’ala (berdoa), maka terurailah (terlepas) satu simpul. Kemudian apabila ia berwudhu, terurailah satu simpul lagi. Dan kemudian apabila ia sholat, terurailah simpul yang terakhir. Maka ia berpagi hari dalam keadaan segar dan bersih jiwanya. Jika tidak (yakni tidak bangun sholat dan ibadah di malam hari), maka ia berpagi hari dalam keadaan kotor jiwanya dan malas (beramal shalih).” (Muttafaqun ‘alaih)
Keempat : Ketahuilah, di malam hari itu ada satu waktu dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang berdoa, Allah akan memberi sesuatu bagi orang yang meminta kepada-Nya, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya bila ia memohon ampunan kepada-Nya.
Hal itu sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau: “Di waktu malam terdapat satu saat dimana Allah akan mengabulkan doa setiap malam.” (HR Muslim No. 757). Dalam riwayat lain juga disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Rabb kalian turun setiap malam ke langit dunia tatkala lewat tengah malam, lalu Ia berfirman: “Adakah orang yang berdoa agar Aku mengabulkan doanya?” (HR Bukhari 3/25-26). Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya, siapa yang memohon (sesuatu) kepada-Ku, niscaya Aku pun akan memberinya, dan siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya.” Hal ini terus terjadi sampai terbitnya fajar. (Tafsir Ibnu Katsir 3/54)

Kesungguhan Salafus Shalih untuk menegakkan Qiyamul lail

Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa tatkala orang-orang sudah terlelap dalam tidurnya, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu justru mulai bangun untuk shalat tahajjud, sehingga terdengar seperti suara dengungan lebah (yakni Al-Qur’an yang beliau baca dalam sholat lailnya seperti dengungan lebah, karena beliau membaca dengan suara pelan tetapi bisa terdengar oleh orang yang ada disekitarnya, ed.), sampai menjelang fajar menyingsing.
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah ditanya: “Mengapa orang-orang yang suka bertahajjud itu wajahnya paling bercahaya dibanding yang lainnya?” Beliau menjawab: “Karena mereka suka berduaan bersama Allah Yang Maha Rahman, maka Allah menyelimuti mereka dengan cahaya-Nya.”
Abu Sulaiman berkata: Malam hari bagi orang yang setia beribadah di dalamnya, itu lebih nikmat daripada permainan mereka yang suka hidup bersantai-santai. Seandainya tanpa adanya malam, sungguh aku tidak suka tinggal di dunia ini.”
Al-Imam Ibnu Al-Munkadir menyatakan : “Bagiku, kelezatan dunia ini hanya ada pada tiga perkara, yakni qiyamul lail, bersilaturrahmi dan sholat berjamaah.
Al-Imam Hasan Al-Bashri juga pernah menegaskan: “Sesungguhnya orang yang telah melakukan dosa, akan terhalang dari qiyamul lail.” Ada seseorang yang bertanya: “Aku tidak dapat bangun untuk untuk qiyamul lail, maka beritahukanlah kepadaku apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab : “Jangan engkau bermaksiat (berbuat dosa) kepada-Nya di waktu siang, niscaya Dia akan membangunkanmu di waktu malam.”(Tazkiyyatun Nufus, karya Dr Ahmad Farid)
Pembaca yang budiman, inilah beberapa keutamaan dan keindahan qiyamul lail. Sungguh, akan merasakan keindahannya bagi orang yang memang hatinya telah diberi taufik oleh Allah Ta’ala, dan tidak akan merasakan keindahannya bagi siapa pun yang dijauhkan dari taufik-Nya. Mudah-mudahan, kita semua termasuk diantara hamba-hamba-Nya yang diberi keutamaan menunaikan qiyamul lail secara istiqamah. Wallahu waliyyut taufiq.
Dikutip dari salafy.or.id offline tulisan al Ustadz Abu Hamzah Yusuf. Judul: Indahnya Qiyamul Lail

Kaifiat/Cara pelaksanaannya

Pertanyaan: Assalaamu’alaikum, ana (saya) ‘Abdullah ingin bertanya tentang bagaimana cara shalat tahajjud yang sesuai dengan sunnah dan kapan ana bisa mendapati malam lailatul qodar? Bagaimana tentang imsak, apakah ada atau tidak? Kapan batasannya sahur? Jazaakumullaahu khairan. (08156177***)
Jawaban: Wa’alaikumus salaam warahmatullaah.
Shalat tahajjud (kalau di bulan Ramadhan lebih dikenal dengan istilah tarawih) yang sesuai dengan sunnah adalah sebelas raka’at sebagaimana diterangkan dalam hadits ‘A`isyah:
مَا كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Nabi tidak pernah shalat malam baik di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at.” (HR. Al-Bukhariy no.1147 dan Muslim no.738)
Sebelas raka’at di sini termasuk di dalamnya shalat witir tiga raka’at yang bisa dilakukan dengan dua cara:
shalat dua raka’at dan salam kemudian shalat satu raka’at atau cara yang kedua,
shalat tiga raka’at sekaligus dengan satu tahiyyat di raka’at ketiga kemudian salam.
Tapi cara pertama itulah yang lebih utama.
Dan dikerjakan dua-dua artinya setiap dua raka’at diakhiri salam, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar, dia berkata: Seorang laki-laki berdiri lalu berkata: Ya Rasulullah, bagaimana (caranya) shalat malam? Rasulullah bersabda:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at, jika kamu takut masuk waktu shubuh maka witirlah satu raka’at.” (HR. Muslim no.749)
Sehingga shalat malam itu paling sedikit satu raka’at (yaitu shalat witirnya saja) dan paling banyaknya 11 raka’at. Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Nabi shalat 13 raka’at maka 2 raka’atnya itu adalah shalat ba’da ‘isya atau qabliyyah shubuh.
Dan paling utama dilakukan pada sepertiga malam akhir. (Lihat HR. Al-Bukhariy no.1131, 4569 dan Muslim no.1159)
Lebih detailnya bisa dilihat di dalam kitab Qiyaamu Ramadhaan atau Shalaatut Taraawiih karya Asy-Syaikh Al-Albaniy.
[Buletin AL Wala’ wal Bara’ Edisi ke-49 Tahun ke-2 / 29 Oktober 2004 M / 15 Ramadhan 1425 H]
Kaifiat Qiyamullail (Shalat Lail)
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا.
فَقَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat (lail) baik di dalam bulan ramadhan maupun di luar ramadhan tidak pernah lebih dari 11 rakaat. Beliau memulai dengan mengerjakan 4 rakaat, kamu tidak usah menanyakan bagaimana baik dan panjangnya shalat beliau. Setelah itu beliau kembali mengerjakan 4 rakaat, kamu tidak usah menanyakan bagaimana baik dan panjangnya shalat beliau. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.”
Aisyah berkata: Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum witir?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku memang tidur namun hatiku tidak.”
(HR. Al-Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا

“Sesungguhnya puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Daud, sedangkan shalat yang paling disukai Allah adalah juga shalat Daud alaihissalam. Beliau tidur hingga pertengahan malam, kemudian bangun (untuk shalat lail) selama sepertiga malam, lalu kembali tidur pada seperenamnya (sisa malam). Dan beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Al-Bukhari no. 1131)
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat malam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah dia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. Al-Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749)
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ لِيُصَلِّيَ افْتَتَحَ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun di malam hari untuk menunaikan shalat malam, biasanya beliau memulai shalatnya dengan dua rakaat ringan.” (HR. Muslim no. 767)

Waktu shalat lail


Awal waktu shalat lail adalah setelah shalat isya dan akhir waktunya adalah setelah terbit fajar kedua. Ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata,
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengerjakan shalat sebelas rakaat pada waktu antara selesai shalat isya sampai subuh. (HR. Muslim no. 736) Juga berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas. Karenanya Ibnu Nashr berkata dalam Mukhtashar Qiyam Al-Lail hal. 119, “Yang disepakati oleh para ulama adalah: Antara shalat isya hingga terbitnya fajar (shadiq/kedua) adalah waktu untuk mengerjakan witir.”
Karenanya jika ada orang yang shalat maghrib-isya dengan jama’ taqdim, maka dia sudah boleh mengerjakan shalat lail walaupun waktu isya belum masuk. Sebaliknya, walaupun sudah jam 10 malam tapi jika dia belum shalat isya, maka dia belum diperbolehkan shalat lail.

Hanya saja waktu yang paling ideal adalah dikerjakan selepas pertengahan malam, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Amr di atas.

Jumlah rakaatnya


Shalat lail minimal 2 rakaat dan paling banyak tidak terbatas. Ini berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas. Hanya saja, walaupun dibolehkan mengerjakan shalat lail tanpa ada batasan rakaat (selama itu genap), akan tetapi sunnahnya dia hanya mengerjakan 8 rakaat (plus witir 3 rakaat) berdasarkan hadits Aisyah yang pertama di atas. Disunnahkan juga untuk mengerjakan 2 rakaat ringan sebelum shalat lail -berdasarkan hadits Aisyah yang terakhir di atas-, sehingga total rakaatnya adalah 13 rakaat.

Beberapa Cara/Kaifiyat melakukan  Shalat Tahajud & Witir

1. Sholat 13 raka’at dibuka dengan 2 raka’at ringan. Hal ini berdasarkan hadits hadits Zaid bin Kholid Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim, beliau berkata :
“Sungguh saya akan memperhatikan sholat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di malam hari maka beliau sholat dua raka’at ringan kemudian beliau sholat dua raka’at panjang, panjang, panjang sekali kemudian beliau sholat dua raka’at lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau berwitir maka itu (jumlahnya) tiga belas raka’at”.
Dan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim, beliau berkata : “Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam apabila beliau berdiri di malam hari untuk sholat maka beliau membuka sholatnya dengan dua raka’at yang ringan”
2. Sholat 13 raka’at, 8 raka’at diantaranya dilakukan dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian witir 5 raka’at dengan satu kali tasyahhud dan satu kali salam.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Riwayat Muslim :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sholat di malam hari 13 raka’at, beliau witir darinya dengan 5 (raka’at) tidaklah beliau duduk pada sesuatupun kecuali hanya pada akhirnya”
3. Sholat 11 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at dan witir dengan 1 raka’at. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim, beliau berkata :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sholat antara selesainya dari sholat isya` sampai sholat fajr (sholat subuh) sebelas raka’at, Beliau salam setiap dua raka’at dan witir dengan satu raka’at”.
4. Sholat 11 raka’at, tidak duduk kecuali pada raka’at kedelapan kemudian tasyahhud tanpa salam lalu berdiri untuk raka’at kesembilan kemudian salam, lalu sholat dua raka’at lagi dalam keadaan duduk.
Hal tersebut diterangkan dalam hadits Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir riwayat Muslim, beliau bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang bagaimana sholat witir Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, maka beliau menjelaskan :
“… Maka beliau bersiwak, berwudhu’ dan sholat 9 raka’at beliau tidak duduk kecuali pada yang kedelapan kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya lalu berdiri dan tidak salam. Kemudian beliau berdiri untuk kesembilan lalu duduk kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya lalu beliau salam sengan (suara) salam yang beliau perdengarkan kepada kami kemudian beliau sholat dua raka’at setelah salam dalam keadaan duduk, maka itu 11 raka’at wahai anakku. Ketika Nabi Allah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah berumur dan beliau bertambah daging (Baca  bertambah berat) maka beliau witir dengan 7 (raka’at) dan berbuat pada yang dua raka’at seperti perbuatan beliau yang pertama, maka itu adalah sembilam (raka’at) wahai anakku”
5. Sholat 9 raka’at, tidak duduk kecuali pada raka’at keenam kemudian tasyahhud tanpa salam lalu berdiri untuk raka’at ketujuh kemudian salam, lalu sholat dua raka’at lagi dalam keadaan duduk.
Hal ini di terangkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas.
Berkata Syaikh Al-Albany : “Ini adalah beberapa kaifiyat yang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melakukannya pada sholat lail dan witir. Dan mungkin untuk ditambah dengan
bentuk-bentuk yang lain, yaitu dengan mengurangi pada setiap bentuk yang tersebut jumlah raka’at yang ia kehendaki dan bahkan boleh baginya untuk membatasi dengan satu raka’at saja.”
Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla menyebutkan beberapa bentuk lain :
6. Sholat 13 raka’at, yaitu salam pada setiap dua raka’at dan witir satu raka’at.
7. Sholat 8 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian ditambah witir 1 raka’at.
8. Sholat 6 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian witir 1 raka’at.
9. Sholat 7 raka’at, tidak tasyahhud kecuali pada yang keenam kemudian berdiri sebelum salam
untuk raka’at ketujuh lalu duduk tasyahhud dan salam.
10. Sholat 7 raka’at dan tidak duduk untuk tasyahhud kecuali di akhirnya.
11. Sholat 5 raka’at dan tidak duduk untuk tasyahhud kecuali di akhirnya.
12. Sholat 3 raka’at, duduk tasyahhud pada raka’at kedua dan salam lalu witir 1 raka’at.
13. Sholat 3 raka’at tidak duduk tasyahhud dan salam kecuali pada raka’at terakhir2.
14. Sholat witir satu raka’at.

Demikian beberapa kaifiyat yang disebutkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Sholatut Tarawih hal. 86-94 (Cet. Kedua) dan Qiyamu Ramadhan hal. 27-30 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 3/42-48. Dan Syaikh Al-Albany juga menyebutkan kaifiyat lain yaitu sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at.
Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidaklah menambah pada (bulan) Ramadhan dan tidak pula pada selain Ramadhan lebih dari sebelas raka’at. Beliau sholat empat (raka’at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya, kemudian beliau sholat empat (raka’at)n jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya kemudian beliau sholat tiga (raka’at)”.
Namun ada perbedaan pendapat di kalangan para Ulama tentang kaifiyat ini.
Pendapat Abu Hanifah, Ats-Tsaury dan Al-Hasan bin Hayy boleh melakukan Qiyamul Lail 2 raka’at sekaligus, boleh 4 raka’at sekaligus, boleh enam raka’at sekaligus dan boleh 8 raka’at sekaligus, tidak salam kecuali di akhirnya. Kelihatannya pendapat ini yang dipegang oleh Syaikh Al-Albany sehingga beliau menetapkan kaifiyat sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at dengan sekali salam.
Dan disisi lain, jumhur Ulama seperti Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq, Sufyan Ats-Tsaury, Ibnul Mubarak, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Ibnul Mundzir serta yang lainnya menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu ‘Umar, ‘Ammar radhiyallahu ‘anhuma, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Asy-Sya’by, An-Nakha’iy, Sa’id bin Jubair, Hammad dan Al-Auza’iy. Dan Ibnu ‘Abdil Barr berkata : “Ini adalah pendapat (Ulama) Hijaz dan sebahagian (Ulama) ‘Iraq.”, semuanya berpendapat bahwa sholat malam itu adalah dua raka’at-dua raka’at yaitu harus salam pada setiap dua raka’at. Ini pula pendapat yang dkuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz beserta para Syaikh anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah, dan juga pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan lain-lainnya
sehingga mereka semua menyalahkan orang yang memahami hadits ‘Aisyah di atas dengan kaifiyat sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at, dan menurut mereka pemahaman yang benar adalah bahwa 4 raka’at dalam hadits itu adalah dikerjakan 2 raka’at 2 raka’at .
Tarjih
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat Jumhur Ulama berdasarkan hadits hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Sholat malam dua (raka’at) dua (raka’at)”
Hadits ini adalah berita namun bermakna perintah yaitu perintah untuk melakukan sholat malam dua dua raka’at. Demikian keterangan Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa beliau 11/323-324.
Baca pembahasan tentang masalah di atas dalam : Al-Istidzkar 2/95-98, 104-106, Fathul Bari 4/191-198, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 7/199-200 dan Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/18-20.
Dan juga para Ulama berselisih pendapat tentang dua raka’at setelah witir pada kaifiyat no. 4 dan 5, ada tiga pendapat di kalangan ulama :
1. Sunnah dua raka’at setelah witir. Ini pendapat Katsir bin Dhomrah dan Khalid bin Ma’dan. Dan Al-Hasan dan Abu Mijlaz melakukannya, sedangkan Ibnu Rajab menukil hal tersebut dari sebahagian orang-orang Hanbaliyah.
2. Ada rukhshoh (keringanan) dalam hal tersebut dan bukan makruh. Ini adalah pendapat Al- Auza’iy, Ahmad dan Ibnul Mundzir.
3. Hal tersebut Makruh. Ini pendapat Qais bin ‘Ubadah, Malik dan Asy-Syafi’iy.
Tarjih
Tentunya dalil-dalil yang menjelaskan tentang kaifiyat itu adalah hujjah yang harus diterima tentang disyari’atkannya sholat dua raka’at setelah witir. Berkata Ibnu Taimiyah : “Dan kebanyakan Ahli Fiqh tidak mendengar tentang hadits ini (yaitu hadits tentang adanya dua raka’at setelah witir di atas,-pent.), kerena itu mereka mengingkarinya. Dan Ahmad dan selainnya mendengar (hadits) ini dan mengetahui keshohihannya dan Ahmad memberi keringanan untuk melakukan dua raka’at ini dan ia dalam keadaan duduk sebagaimana yang dikerjakan oleh (Nabi) shollallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa yang melakukan hal tersebut tidaklah diingkari, akan tetapi bukanlah wajib menurut kesepakatan (para Ulama) dan tidak dicela orang yang meniggalkannya….”
Baca : Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/92-94, Fathul Bari Ibnu Rajab 6/260-264 dan Al- Mughny 2/281.
1 Yaitu disaksikan oleh malaikat rahmat. Demikian keterangan Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim 6/34.
2 Tambahan dari penulis dan tidak tertera dalam Al-Muhalla.
3 Artinya : Maha suci Yang Maha berkuasa lagi Yang Maha suci.

Bacaan Dalam Sholat  Tahajud

Berkata Syaikh Al-Albany dalam Qiyamu Ramadhan hal. 23-25 : “Adapun bacaan dalam sholat lail pada Qiyam Ramadhan dan selainnya, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak menetapkan suatu batasan tertentu yang tidak boleh dilampaui dengan bentuk tambahan maupun pengurangan. Kadang beliau membaca pada setiap raka’at sekadar “Ya Ayyuhal Muzzammil” dan ia (sejumlah) dua puluh ayat dan kadang sekadar lima puluh ayat. Dan beliau bersabda :
“Siapa yang sholat dalam semalam dengan seratus ayat maka tidaklah ia terhitung dalam orangorang yang lalai”
“… dengan dua ratus ayat maka sungguh ia terhitung dari orang-orang yang Qonit (Khusyu’, panjang sholatnya,-pent.) lagi Ikhlash”
Dan beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada suatu malam dan beliau dalam keadaan sakit membaca tujuh (surah) yang panjang, yaitu surah Al-Baqarah, Ali ‘Imran, An-Nisa`, Al- Ma`idah, Al-An’am, Al-A’raf dan At-Taubah.
Dan dalam kisah sholat Hudzaifah bin Al-Yaman di belakang Nabi ‘Alaihish Sholatu was Salam bahwa beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca dalam satu raka’at Al-Baqarah kemudian An-Nisa’ kemudian Ali ‘Imran dan beliau membacanya lambat lagi pelan.
Dan telah tsabit (syah, tetap) dengan sanad yang paling shohih bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu tatkala memerintah Ubay bin Ka’ab sholat mengimami manusia dengan sebelas raka’at dalam Ramadhan, maka Ubay radhiyallahu ‘anhu membaca dua ratus ayat sampai orang-orang yang di belakangnya bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah mereka bubar kecuali pada awal-awal fajar.
Dan juga telah shohih dari ‘Umar bahwa beliau memanggil para pembaca Al-Qur`an di bulan Ramadhan kemudian beliau memerintah orang yang paling cepat bacaannya untuk membaca 30 ayat, orang yang pertengahan (bacaannya) 25 ayat dan orang yang lambat 20 ayat.
Dibangun di atas hal tersebut, maka kalau seseorang sholat sendirian disilahkan memperpanjang sholatnya sesuai dengan kehendaknya, dan demikian pula bila ada yang sholat bersamanya dari kalangan orang yang sepakat dengannya (dalam memperpanjang,-pent.), dan semakin panjang maka itu lebih utama, akan tetapi jangan ia berlebihan dalam memperpanjang sampai menghidupkan seluruh malam kecuali kadang-kadang, dalam rangka mengikuti Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang bersabda :
“Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam)”
Dan apabila ia sholat sebagai imam maka hendaknya ia memperpanjang dengan sesuatu yang tidak memberatkan orang-orang di belakangnya, berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Apabila salah seorang dari kalian Qiyam mengimami manusia maka hendaknya ia memperingan sholatnya karena pada mereka ada anak kecil, orang besar, pada mereka orang lemah, orang sakit dan orang yang mempunyai keperluaan. Dan apabila ia Qiyam sendiri maka hendaknya ia memperpanjang sholatnya sesuai dengan kehendaknya”.”
Demikian keterangan Syaikh Al-Albany tentang bacaan pada Qiyamul lail, adapun dalam sholat witir, berikut ini beberapa hadits yang menjelaskannya, diantaranya adalah hadits Ubay bin Ka’ab riwayat Imam Ahmad dan lain-lainnya, beliau berkata :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata : “Subhanal Malikil Quddus”3 tiga kali.” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/160-161.)
Dan dalam hadits ‘Abdurrahman bin Abi Abza riwayat Ahmad dan lainnya, beliau berkata : “Sesungguhnya beliau membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata : “Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus.” dan beliau mengangkat suaranya dengan itu .” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/161.)
Berdasarkan dua hadits di atas, Ats-Tsaury, Ishaq dan Abu Hanifah menganggap sunnah membaca tiga surah di atas dalam sholat witir. Imam Malik dan Asy-Syafi’iy juga menganggap sunnah hal tersebut namun mereka dalam raka’at ketiga selain dari surah Al-Ikhlash juga menganggap sunnah menambahnya dengan surah Al-Falaq dan surah An-Nas. Namun hadits mengenai tambahan dua surah tersebut dianggap lemah oleh Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan Al- ‘Uqaily, karena itu seharusnya orang yang sholat witir tiga raka’at hanya terbatas dengan membaca surah Al-Ikhlash pada raka’at ketiga.
Syaikh Al-Albany dalam Sifat Sholat An-Nabi hal. 122 (Cet. Kedua Maktabah Al-Ma’arif) juga menshohihkan hadits bahwa membaca dalam raka’at witir dengan seratus ayat dari An-Nisa`.

Jumat, 27 Juli 2012

hukum berpacaran

    
Pacaran memang merupakan hal yang tidak akan pernah usang untuk terus dibicarakan, termasuk saat Ramadhan. Kata pacaran kerap dikaitkan dengan generasi muda dengan gaya yang selalu berganti dari masa ke masa. Model pacaran kaum muda era 90-an pasti berbeda dengan model pacaran era 70-an.
Model pacaran abad 19 pasti berbeda dengan model pacaran abad 18. Di sini saya menghimbau, waspadalah wahai kaum muda! Jangan sampai kita terbawa derasnya arus budaya pacaran yang serba bebas yang sengaja dihembuskan kaum liberal penganut pergaulan bebas tanpa mengenal batas-batas kefitrahan manusia.

Istilah pacaran sama sekali tidak dikenal dalam Islam. Jika sejauh ini pacaran dianggap proses menuju pernikahan, maka dalam Islam hanya dikenal istilah taaruf sebagai proses menuju jenjang khitbah (lamaran) sebelum akhirnya nikah. Taaruf yang dimaksud dalam Islam tidak sama dengan gaya pacaran yang dikenal kebanyakan orang, meski mungkin dalam pacaran ada juga proses seperti taaruf.

Dengan demikian, apapun pengertian dan maksud dari pacaran, sungguh merupakan sikap yang cerdas bila generasi muda tidak mendekatkan diri pada kubangan pergaulan bebas dengan lawan jenis yang memberi peluang yang sangat besar untuk terjadinya pelanggaran terhadap aturan Allah dan Rasul-Nya. Sejauh ini, belum satu orang pun yang bisa menggali kemaslahatan pacaran dan yang terjadi malah banyak kasus penyelewengan, penyimpangan sikap, penurunan prestasi, dan lain sebagainya. Semua itu adalah akibat buruk pacaran. Perhatikan ketarangan berikut.

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya.Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’” (Q.S. An-Nur [24]: 30)

Islam sangat mengerti fitrah setiap manusia sebagai makhluk yang memiliki cinta dan syahwat. Tapi Islam sebagai agama yang sempurna dan bijak menuntun kita agar tetap berada dalam kefitrahan yang sesungguhnya. Tidak lantas dengan alasan cinta, syahwat terhadap lawan jenis diikuti begitu saja sampai akhirnya terjerumus dalam jurang kenistaan.

Kehadiran Ramadhan bisa menjadi ajang untuk lebih melatih diri dalam memposisikan cinta dan syahwat. Terlepas dari apa itu pacaran, pastinya kita lebih ditekankan untuk lebih arif dalam menyikapi Ramadhan dengan lebih menyibukkan diri dalam beribadah dan ketaatan kepada Allah Swt. Sekali lagi, pacaran sebagaimana kita diketahui, lebih banyak memberi peluang perbuatan dosa sehingga dapat menyebabkan sia-sianya Ramadhan yang sangat berharga ini.

Saya yakin para sahabat muda sadar bahwa jodoh ada di tangan Allah. Nah, kesadaran tersebut cukup kiranya dijadikan pijakan untuk bertanya apa sebenarnya manfaat pacaran. Siapa yang berani menjamin bahwa seseorang yang dipacari akan membawa kebahagiaan abadi dan cinta sejati? Siapa pula yang dapat menjamin jika berpacaran tidak membawa dampak buruk pada diri yang bersangkutan kelak di kemudian hari?

Islam mengajarkan kita untuk mencintai seseorang hanya karena Allah. Bukti cinta yang didasari cinta kepada Allah adalah senantiasa menempatkan cinta di jalan yang diridoi Allah dan bukan mengikuti gaya atau tren pergaulan modern yang tidak menguntungkan.

Mengapa Islam menekankan hal ini. Tidak lain karena masalah cinta tidak bisa dianggap remeh. Cinta adalah bagian dari unsur keimanan. Rasulullah Saw. bersabda:
“Dari Anas bin Malik, dari Nabi Saw., beliau bersabda: ‘Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman. Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka.” (H.R. Bukhari)

Jadi, kalau di selain Ramadhan saja pacaran dilarang (bahkan sebagian ulama mengharamkannya), apatah lagi hal tersebut dilakukan saat Ramadhan. Semoga kita semua (terutama generasi muda) diberi keteguhan dalam melaksanakan perintah Allah, termasuk menahan diri untuk tidak pacaran. Wallahu a’lam.

Islam itu INDAH

Islam adalah agama Allah ‘Azza wa Jalla yang sempurna dan penuh petunjuk. Tak satu agama pun yang diridhoi-Nya selain Islam. Kemulian, keindahan, keagungan dan segala sifat yang terpuji telah menjadi cahaya Islam yang tidak akan sirna hingga hari kiamat. Betapapun kebencian orang-orang yang anti terhadapnya, namun Islam tetaplah Islam, kemulian dan keagungannya akan tetap menghiasinya walaupun musuh-musuh Allah berusaha untuk memadamkan kemilaunya, walaupun orang-orang munâfiqûn tak kenal letih dan tiada kehabisan akal dalam mendatangkan makar di tengah kebesarannya, dan walaupun segelentir penganutnya –sadar maupun tak sadar- telah mencoreng dan merusak keindahannya di mata manusia.
Ingatlah bahwa Allah Jalla Jalâluhu telah menegaskan,

“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (QS. Ash-Shof : 8-9)
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al-Fath : 28)
“Mereka (ornag-orang munâfiqûn) berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Al-Munâfiqûn : 8)
Dan patut untuk diketahui bahwa akan tetap ada dari ulamanya yang akan membela dan menampakkan kebenarannya hingga hari kiamat. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mereka tetap nampak diatas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka hingga datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu.” [1]
Dan ingatlah, akan tetap ada yang akan tampil dari ulamanya guna menjawab segala tuduhan, menepis segala syubhat (kerancuan, kesamaran) dan menghancurkan seluruh makar musuh-musuhnya. Sebagaimana dalam sabda Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

“Ilmu (agama) ini akan disandang -pada setiap generasi- oleh orang-orang adilnya. Mereka menepis darinya tahrîf (perubahan, pembelokan) orang-orang yang melampaui batas, jalan para pengekor kebatilan dan takwîl orang-orang jahil.” [2]
Untuk memandang sedikit dari keindahan Islam itu dan untuk menghirup semerbak kewangiannya, kami mengajak para pembaca untuk memperhatikan beberapa prinsip penting dalam syari’at Islam berikut ini.

[1] Hadits Mutawâtir. Riwayat Al-Bukhâri, Muslim dan selainnya. Dilihat takhrijnya dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 270, 1955-1962 karya Imam Al-Albânyrahimahullâh. Dinyatakan mutawâtir oleh Ibnu Taimiyah dan selainnya. Baca Nazhmul Mutanâtsir Min Al-Ahâdîts Al-Mutawâtir hal. 151 karya Al-Kattâny.
[2] Diriwayatkan oleh sejumlah shahabat radhiyallâhu ‘anhum, dan ia adalah hadits yang kuat dari seluruh jalannya. Baca Bashâ`ir Dzawi Asy-Syaraf bi Marwiyyât Manhaj As-Salaf hal. 111-114 karya Salîm Al-Hilâly.

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi’i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

-Perbedaan Puasa Muhammadiyah Dan NU tahun 2012-


Tahun ini kita umat Islam di Indonesia akan berbeda dalam memulai awal puasa Ramdhan. Muhammadiyah sudah jauh-jauh hari menetapkan awal Ramadhan 1433 H akan jatuh pada tanggal 20 Juli 2012, sedangkan ormas lain seperti NU, Persis, dan lain-lain kemungkinan besar memulai puasa tanggal 21 Juli 2012. Muhammadiyah bisa menetapkan lebih cepat karena mereka menggunakan metode hisab (perhitungan) dalam menentukan awal bulan baru (tahun qomariyah berdasarkan peredaran bulan)), sedangkan NU dan Persis menggunakan metode rukyat (melihat awal bulan baru secara langsung) digabungkan dengan hisab. Oleh karena itu NU dan Persis akan menunggu penetapan Ramadhan pada akhir bulan Sya’ban nanti (19 Juli 2012). Pemerintah sendiri belum menentukan, tetapi dari pengalaman selama ini ketetapan pemerintah sama dengan ketetapan NU.

Meskipun awal Ramadhan akan berbeda, tetapi lebaran Idul Fitri tahun ini dipastikan akan sama, yaitu 19 Agustus 2012, sama seperti tanggal merah di kalender. Jadi, Muhamamdiyah menetapkan bulan Ramadhan penuh selama 30 hari, sedangkan NU (termasuk Pemerintah) 29 hari.

Perbedaan dalam menentukan awal puasa, lebaran Idul Fitri, dan lebaran haji (Idul Adha), sudah sering terjadi di Indonesia. Tahun lalu saja kita merayakan lebaran dalam hari yang berbeda pula. Hanya di Indonesia yang sering berbeda-beda begitu, di negara lain tidak pernah terjadi. Hal ini terjadi karena di Indonesia tidak menganut penetapan tunggal, selain itu terlalu banyak ormas keagamaan di Indonesia. Setiap ormas Islam punya caranya sendiri dalam menentukan awal bulan tanggal-tangal penting itu. Sebagian umat Islam di Indonesia lebih menuruti pendapat ormas keagamaan yang menjadi rujukan atau hubungan emosionalnya ketimbang mematuhi Pemerintah. Yah, memang umat Islam di Indonesai ini sulit bersatu dalam menentukan tanggal-tanggal penting ibadah itu.

Untunglah meskipun berbeda hari dalam menentukan tanggal-tanggal penting dalam ibadah itu, kebanyakan orang Islam di Indonesia tidak terlalu mempersoalkannya. Semuanya berlangsung damai-damai saja, pertanda umat Islam sudah cukup dewasa dalam menyikapinya. Untungnya lagi, kalau hal ini disebut “melegakan”, lebaran tahun ini akan sama harinya, meskipun awal puasa akan berbeda. Mengapa saya sebut hal yang “melegakan”? Karena, bagi orang Islam Indonesai lebaran Idul Fitri sudah menjadi tradisi perayaan yang terpenting (seperti budaya mudik, ketupat, silaturahmi, dsb), jauh melampaui makna Idul Fitri itu sendiri. Jika lebaran pada hari yang sama, tentu semua orang akan merayakan hari kemenangan itu bersama-sama. Jika lebaran berbeda hari tentu tidak elok rasanya, sebagian orang sudah takbiran dan makan ketupat serta bersilatuhami pada hari raya, tetapi sebagian yang lain masih puasa dan shalat tarawih. Sumbing rasanya, pemandangan yang kurang pas, apalagi dalam satu kampung. Jadi, secara sederhana bisa saya katakan bahwa bagi kebanyakan orang yang awam dalam beragama awal puasa boleh saja berbeda, tetapi sebaiknya lebaran bersama-sama.

Idealnya memang kita memulai ibadah puasa itu bersama-sama dan lebaran bersama-sama. Tetapi yang ideal itu masih jauh dari harapan selama kriteria penentuan kalender hijriyah itu belum bisa disepakati. Apa sih susahnya menentukan kriteria hilal (penampakan bulan) yang sama? Jika ego masing-masing ormas masih begini-begini juga, jangan harap umat Islam Innonesia akan selalu bersama-sama dalam melaksanakan awal puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha.

Yang bisa kita lakukan saat ini adalah menghormati perbedaan itu. Yang mengikuti Muhammadiyah silakan, yang mengikuti NU dan Persis (dan ormas Islam yang lain), silakan. Tidak perlu pula kita menyalahkan pihak yang lain karena perbedaan itu, apalagi dengan menuduh bid’ah segala. Semuanya benar menurut saya karena dalil hadisnya sama-sama kuat. Nabi pun menentukan awal bulan memakai rukyat dan kadang-kadang memakai hisab. Jadi, memang tidak perlu dipertentangkan satu sama lain. Namun, usaha penyatuan kalender Hijriyah tetap dinantikan agar umat Islam di Indonesia tidak bingung.

antara nu dan muhammadiyah

Antara NU dan MUHAMMADIYAH

Sekilas
NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi islam di Indonesia. Sama-sama memiliki basis massa yang besar, pemahaman yang sedikit tidak sama, berkiprah dalam bidang politik bisa ya bisa tidak (lebih cenderung ya). Secara tidak langsung 2 organisasi ini membagi muslim Indonesia menjadi 2 (bagi yang cuwek tidak termasuk).
Tulisan ini tidak untuk membandingkan keduanya, tidak juga untuk mencari perbedaan antara Muhammadiyah dan NU (Muhammadiyah saya sebut di awal karena memang lahir lebih dulu, bagi yang NU tidak perlu protes).

Sejarah Berdirinya Muhammadiyah 
Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.

Bidang Akidah
Akidah merupakan dasar pokok keyakinan beragama. Oleh sebab itu ia menjadi titik awal dalam bahasan tentang keimanan.
Pambahasan akidah ini umumnya meliputi persoalan sebagai berikut ;
  1. Ilahiyyah,yaitu segala hal yang membahas tentang ilah (Allah) seperti wujud Allah ,kehendak Allah,ketentuan Allah.
  2. Nubuwwah, yaitu pembahasan mengenai segala sesuatu yang berkenaan dengan nabi dan Rasul,termasuk pembahasan mengenai kitab-kitab Allah,dan mukjizat.
  3. Ruhaniyyah, yaitu pembahasan yang berhubungan dengan alam metafisik,
  4. Syam’iyah,yaitu pembahasan tentang segala yang dapat diketahui lewat syam’i(mendengar berita dari dalil naqli berupa Al-qur’an dan sunah Rasul.
Secara histories aqidah islam yang berkembag dikalangan umat islam ada dua kelompok ;
  1. Aqidah salaf,aqidah yang dibangun semata-mata berdasarkan wahyu,yaitu Al-qur’an dan as-sunnah,tanpa ada tambahan filosofis.
  2. Aqidah islam yang dibangun atas campur tangan pemikiran fikosofik. 

Sejarah Berdirinya NU
Nahdlatul Ulama (NU), adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Paham keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi’i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Perbedaan NU dan Muhammadiyah
Muhammadiyah dan NU adalah organisasi, bukan masalah fiqh. Hanya dalam konteks Indonesia, Muhammadiyah dan NU adalah mewakili 2 golongan besar umat Islam secara fiqh juga. Muhammadiyah mewakili kelompok “modernis” (begitu ilmuwan menyebut), yang sebenarnya ada beberapa organisasi yang memiliki pandangan mirip seperti Persis (Persatuan Islam), Al-Irsyad, Sumatra Tawalib. Sedang NU (Nahdhatul Ulama) mewakili kelompok “tradisional”, selain Nahdhatul Wathan, Jami’atul Washliyah, Perti, dll.
Di sisi lain NU (Nahdhatul Ulama, didirikan antara lain oleh KH Hasyim Asy’ari, 1926), lahir untuk menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. Sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Berbeda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU sangat nampak di kalangan pedesaan.
Kedua organisasi memiliki berbagai perbedaan pandangan. Dalam masyarakat perbedaan paling nyata adalah dalam berbagai masalah furu’ (cabang). Misalnya Muhamadiyah melarang (bahkan membid’ahkan) bacaan Qunut di waktu Shubuh, sedang NU mensunahkan, bahkan masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud syahwi, dan berbagai masalah lain